(IslamToday ID) – Presiden Jokowi menyatakan tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Ia mengaku senang karena rancangan undang-undang yang merupakan usulan dari pemerintah itu telah resmi diundangkan.
“Tentu saja pemerintah senang, wong yang mengajukan kita, kemudian disetujui (DPR). Sulitnya kayak apa kemudian disetujui, ya senang. Masa kemudian kita mengeluarkan Perppu,” kata Jokowi saat diwawancarai Rosi secara eksklusif di Kompas TV, Senin (16/11/2020).
Menurutnya, rancangan UU Cipta Kerja disiapkan pemerintah dalam waktu yang tidak singkat. Begitu pula dengan proses pembahasan di DPR yang disebut Jokowi cukup lama, yaitu delapan bulan.
Jokowi mengatakan berbagai pro dan kontra bergulir selama pembahasan di DPR hingga akhirnya rancangan UU Cipta Kerja disetujui menjadi undang-undang.
“Kita menyiapkan berbulan-bulan. Kemudian kita berikan kepada DPR, ini adalah proses ketatanegaraan kita. Kemudian UU itu dibahas di DPR delapan bulan, di sana ada semua fraksi,” kata Jokowi.
“Itu adalah wujud perwakilan rakyat. Delapan bulan mereka pro dan kontra, saya kira proses di parlemen selalu seperti itu. Kemudian jadi, sudah disetujui,” tambahnya.
Jokowi menyebut UU Cipta Kerja memiliki semangat harmonisasi undang-undang yang tumpang tindih dan reformasi struktural dalam rangka transformasi ekonomi. Selain itu, juga solusi untuk menurunkan angka pengangguran di Indonesia.
“Negara kita ini, ingat ada 6,9 juta pengangguran. Tiap tahun ada angkatan kerja baru 2,9 juta. Karena pandemi, bertambah lagi 3,5 juta pengangguran. Ini perlu pemikiran. Kita tidak hanya memikirkan yang sudah bekerja, tapi yang belum bekerja dan akan bekerja ini seperti apa,” ujar Jokowi.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja jauh dari standar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Ia terutama menyoroti asas kepastian hukum, baik secara formal maupun substantif.
Secara formal, katanya, proses pembentukan omnibus law UU Cipta Kerja diwarnai banyak masalah. Mulai dari pembahasan yang dilakukan di masa pandemi Covid-19, keterlibatan publik yang tak signifikan, hingga misteri dokumen yang tak diungkap serta terus berubah bahkan setelah pengesahan.
“Menurut saya ini adalah praktik terburuk dalam sejarah pembentukan hukum di negeri ini pasca-Soeharto. Belum pernah terjadi seperti ini,” kata Herlambang seperti dikutip dari Tempo, Kamis (5/11/2020).
Ia mengatakan persoalan UU Cipta Kerja saat ini tak bisa dipandang sekadar salah ketik. Ia menilai kekeliruan pengetikan ini seakan-akan sedang dirasionalisasi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang juga berencana melakukan koreksi secara langsung.
Menurut Herlambang, koreksi secara langsung itu tak bisa dilakukan. Ia mengatakan tak ada aturan hukum yang membolehkan hal tersebut. Selain itu, tindakan tersebut juga melanggar asas kepastian hukum atau lex certa. “Itu skandal yang sangat memalukan di pemerintahan hari ini,” ujar Ketua Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia ini.
Secara substansi, Herlambang mengatakan UU Cipta Kerja juga bermasalah lantaran mewakili kepentingan oligarki. Menurutnya, dominasi kepentingan oligarki inilah yang kemudian mengarah pada tindakan menggampangkan dan proses ugal-ugalan.
Herlambang menyebut sikap pemerintah yang hendak langsung merevisi UU Cipta Kerja itu merupakan cara ilegal atau forgery content. Ia berujar, forgery content adalah salah satu penanda kejahatan legislasi. [wip]