ISLAMTODAY ID — KH. Miftachul Akhyar terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025.
KH.Miftachul terpilih menggantikan KH Ma’ruf Amin yang terpilih menjadi Wakil Presiden (Wapres) RI periode 2019-2024.
KH. Miftachul juga menjadi Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggantikan Ma’ruf Amin yang maju menjadi cawapres di Pilpres 2019. Dengan begitu, dua estafet pucuk pimpinan MUI dan PBNU yang sebelumnya diduduki Ma’ruf Amin diserahkan kepada Miftachul.
Kiai Miftachul merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Kota Surabaya. Dia pernah menjadi Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur periode 2007-2013 dan 2013-2018. Selain itu, dia juga dikenal sebagai ahli fiqih dan kitab kuning.
Saksi Ahli Agama Kasus Penistaan Agama Ahok
Nama Kiai Miftachul mendapat sorotan ketika menjadi saksi ahli agama yang memberatkan dalam kasus penistaan agama, yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pada 21 Februari 2017.
Selaku Wakil Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar menjadi saksi ahli pertama yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) di sidang ke-11. Adapun saksi ahli agama dari Muhammadiyah adalah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum MUI, yaitu almarhum Prof Yunahar Ilyas.
Kepada majelis hakim, Miftachul menyayangkan pidato Gubernur DKI Ahok yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu pada 27 September 201. Menurut Miftachul, terdapat indikasi penyesatan terhadap umat Islam dalam pidato Ahok.
Indikasi hukum penodaan Alquran terdapat pada kalimat “pakai surat al-Maidah ayat 51” yang diucapkan Ahok. Padahal, menurut dia, ayat tersebut biasanya disampaikan oleh para ulama.
“Bagi mereka yang bukan ulama karena dapat ilmu dari ulama. Ada indikasi penyesatan umat. Jadi itu ada arti penyesatan terhadap umat. Orang yang sudah percaya, diajak jangan percaya terhadap ayat ini. Semula yang beriman menjadi tidak beriman dan meyakini,” kata Miftachul.
Saat diwawancarai wartawan Republika, pada Jumat (27/11), Miftachul memiliki harapan kepada umat Islam di Indonesia.
“Harapan kita, kalau kita nggak menjadi orang alim, jadilah mereka-mereka yang mau belajar. Karena, Rasulullah sendiri membagi manusia hanya dua macam. Orang yang alim, yang sudah mendalami ilmu dan tahu, dan mereka yang masih dalam rangka untuk mengetahui. Kita antara itu. Tidak ada pembagian yang ketiga. Kalau ada, itu sudah ndak masuk lembaga ini. Harapan Islam itu masih jauh perlu kita dalami,” tandasnya.
Sosok KH Miftah
Ia lahir dari tradisi dan melakukan pengabdian di NU sejak usia muda. Tak heran kemudian hari ini mengemban puncak kepemimpinan NU, sebagai Penjabat Rais Aam.
Kiai Miftah begitu ia akrab disapa, adalah pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya. Ia adalah putra Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah KH Abdul Ghoni. Ia lahir tahun 1953, anak kesembilan dari 13 bersaudara.
Di NU ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya 2000-2005, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur 2007-2013, 2013-2018, dan Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020 yang selanjutnya didaulat sebagai Pj. Rais Aam PBNU 2018-2020 di Gedung PBNU pada Sabtu (22/9/2020).
Menurut catatan PW LTNNU Jatim, Ahmad Karomi, genealogi keilmuan Kiai Miftah tidak diragukan lagi. Ia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur), Pondok Pesantren Lasem (Jawa Tengah), dan mengikuti Majelis Ta’lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al-Maliki di Malang, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.
Masih menurut Karomi, penguasaan ilmu agama Kiai Miftah ini membuat kagum Syaikh Masduki Lasem, sehingga ia diambil menantu oleh kiai yang terhitung sebagai mutakharrijin (alumnus) istimewa di Pondok Pesantren Tremas.
Kemudian Kiai Miftah mendirikan Pondok Pesantren Miftachus Sunnah di Kedung Tarukan mulai dari nol. Awalnya ia hanya berniat mendiami rumah sang kakek, tetapi setelah melihat fenomena pentingnya nilai religius di tengah masyarakat setempat, maka mulailah beliau membuka pengajian. Apa sebab?
“Konon, kampung Kedung Tarukan terkenal sejak lama menjadi daerah yang tidak ramah ada dakwah para ulama. Namun berkat akhlak dan ketinggian ilmu yang dimiliki KH Miftachul Akhyar, beliau berhasil mengubah kesan negatif itu, sehingga kampung yang ‘gelap’ menjadi ‘terang dan sejuk’ seperti saat ini dalam waktu yang relatif singkat,” ungkap Karomi seperti dikutip dari NU.or.id, Jumat (27/11/2020).
Kesederhanaan Kiai Miftah, menurut Karomi, yang terekam dengan jelas adalah bentuk penghormatan terhadap tamu. Kiai Miftah tidak segan-segan menuangkan wedang dan menyajikan camilan kepada tamunya. “Akhlak ini beliau dapat dari ayahandanya, KH Abdul Ghoni,” lanjut Karomi.
Karomi mengutip penuturan Gus Tajul Mafakhir, bahwa ayah Kiai Miftah merupakan karib KH M Usman al-Ishaqi Sawahpulo saat sama-sama nyantri kepada Kiai Romli di Rejoso, Jombang.
Terlebih lagi saat sang ayah nyantri kepada Kiai Dahlan Ahyad Kebondalem sang pendiri MIAI dan Taswirul Afkar.
“Tepatlah kiranya pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. KH Abdul Ghoni dalam pandangan Abah Thoyib Krian merupakan salah satu kiai ampuh yang ditutupi oleh keindahan akhlak. Acapkali KH Abdul Ghoni mengadukkan wedang, menyuguhkan dan mempersilakan kepada tamunya. Nah, lelaku sae inilah yang oleh KH Miftachul Akhyar tetap dilestarikan,” ujar Karomi.[IZ/Republika]