(IslamToday ID) – 51 Video yang menunjukkan 43 insiden kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa pada demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh elemen buruh dan mahasiswa diungkap oleh Amnesty International Indonesia.
“Ada 51 video yang kami verifikasi dan menggambarkan setidaknya 43 insiden kekerasan yang secara terpisah dilakukan oleh polisi selama 6 Oktober-10 November 2020,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid melalui konferensi video, Rabu (2/12/2020).
Video tersebut diverifikasi oleh Amnesty International dan Crisis Evidence Lab dari laporan-laporan video dan kesaksian yang disampaikan saksi mata atau masyarakat yang terlibat.
Ia menjelaskan video-video itu menunjukkan tiga tipe kekerasan dan tindakan buruk yang dilakukan polisi terhadap demonstran.
Pertama, memukul dengan menggunakan senjata tumpul. Menurut pantauan Usman, senjata yang dipakai umumnya berupa tongkat polisi, bambu, dan kayu. Setidaknya separuh dari seluruh video menunjukkan polisi memukul demonstran dengan senjata tersebut.
“Antara lain di Bekasi, Jawa Barat, juga ada yang teridentifikasi sebagai mahasiswa diseret dari kerumunan, dipukuli sejumlah anggota polisi,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (4/12/2020).
Pada kasus di Malang, Jawa Timur ditemukan aparat kepolisian memukul petugas keamanan kampus. Hal ini, menurut Usman, janggal karena seharusnya kedua aparat keamanan bekerja sama melindungi mahasiswa dan masyarakat setempat.
Kemudian di Sumatera Utara, ditemukan polisi memukul mahasiswa dengan tongkat di sebuah gedung. Padahal mereka terlihat melakukan aksi dengan damai.
Tindakan kedua adalah penggunaan gas air mata dan water canon yang tidak tepat. Usman mengatakan sesungguhnya pembubaran dengan kedua metode tersebut baru dibolehkan jika ada bukti demonstrasi berjalan tidak damai dan tidak dapat ditangani dengan tindakan proporsional.
Namun pada beberapa kasus, seperti di Bandar Lampung dan Purwokerto, Jawa Tengah, pembubaran dengan gas air mata dan water canon digunakan meskipun masih ada jalan lain untuk membubarkan massa dengan tenang.
Kemudian tindakan ketiga adalah penahanan tanpa komunikasi. Amnesty mencatat setidaknya 6.658 orang yang ditangkap di 21 provinsi terkait demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut.
Dari jumlah tersebut, 300 orang di antaranya ditahan dengan jangka waktu yang berbeda. Sementara, 18 orang ditetapkan tersangka karena dituduh melakukan pelanggaran terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada salah satu kasus di Bandung, Jawa Barat, Usman bercerita seorang mahasiswa ditangkap ketika berjalan menuju sepeda motornya yang diparkir di dekat gedung DPRD Jawa Barat. “(Padahal) Dia sama sekali tidak bicara apa-apa. Dia juga tidak melakukan tindakan merusak barang atau kekerasan. Tapi tiba-tiba ditangkap, ditendang, dan ditampar,” pungkasnya.
Mahasiswa tersebut kemudian dibawa ke dalam gedung DPRD Jawa Barat setelah diinterogasi. Di dalam gedung itu, ia bersaksi melihat mahasiswa lain juga dipukuli.
Usman menyebut tindakan ini melanggar hak asasi manusia. Terlebih karena penangkapan terhadap demonstran tidak dikomunikasikan kepada rekan maupun keluarga.
Menurutnya, penahanan tersebut mengandung unsur penyiksaan, perlakuan buruk, dan dapat menimbulkan dampak mental yang negatif kepada pelaku yang ditahan.
“Ini jelas melanggar konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia. Berikutnya penyiksaan itu sendiri tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat manusia,” tambahnya.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat dikonfirmasi mengaku belum mengetahui informasi terkait video-video tersebut. Ia menyatakan akan mengecek terlebih dulu ke bagian Insepktorat Pengawasan Umum (Itwasum) Kepolisian. “Kita belum dapat info. Dicek dulu di Itwasum ya,” katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan belum menerima laporan terkait tudingan Amnesty International tersebut. “Saya sudah kroscek ke Polda Metro Jaya, ke Polda jajaran, dan Bid Propam Polri, sampai detik ini tidak ada laporan kekerasan yang dilakukan oleh Polri,” katanya.
Menurutnya, Polri telah profesional dan proporsional dalam mengamankan aksi unjuk rasa yang terjadi selama ini.
Awi menjabarkan setidaknya ada tiga pedoman yang harus diikuti Polri selama mengamankan pendemo, salah satunya Perkap No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Ada pula Perkap No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Terakhir, ada Protap No 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Dalam praktiknya pun, polisi selalu bertahap untuk melakukan pengamanan terhadap para pengunjuk rasa. Apabila massa sudah mulai anarkis, kondisi itu bisa menjadi salah satu dasar aparat mulai bersikap represif.
“Gunanya tongkat ya untuk melumpuhkan. Kalau mereka memang anarkis, enggak mungkin kami elus-elus lagi kayak zamannya demo damai,” ucapnya.
Ia lantas membandingkan perlakuan polisi-polisi di Amerika Serikat (AS) yang sering berlaku lebih keras. Misalnya, perlawanan terhadap aparat yang dapat dilumpuhkan dengan senjata api.
“Di Amerika sendiri rekan-rekan lihat, polisi didorong saja sudah luar biasa. Sudah melawan penegak hukum, senjata pun bisa dia gunakan, ditembakkan,” katanya.
“Ini yang perlu rekan-rekan pahami dan kami sangat-sangat luar biasa. Polisi kita masih sabar dalam menghadapi pendemo selama ini,” tambahnya. [wip]