(IslamToday ID) – Keamanan dan efikasi atau kemanjuran vaksin Sinovac dinilai belum terjamin. Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mewanti-wanti kepada pemerintah dan masyarakat untuk tidak terlena euforia vaksin virus corona (Covid-19).
Hal tersebut diungkapkan Pandu merespons kedatangan vaksin asal China, Sinovac di Indonesia pada Ahad (6/12/2020) sebanyak 1,2 juta vaksin. Pasalnya, vaksin tersebut masih menjalani uji klinis vaksin fase ketiga serta belum mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Vaksin itu secondary prevention (pencegahan kedua) sementara primary prevention-nya (pencegahan utama) masih berantakan. Yang saya heran, pemerintah tidak investasi dengan memperkuat primary prevention, malah langsung lompat ke secondary prevention,” kata Pandu seperti dikutip dari CNNIndonesia, Senin (7/12/2020).
“Seakan-akan vaksin ini deal bisnis bukan deal efikasi,” imbuhnya.
Dirinya menilai seharusnya pemilihan vaksin dilakukan secara transparan dan memaparkan tingkat paling tinggi probabilitas keamanan dan efikasinya.
Pandu mengatakan vaksin Sinovac datang begitu saja, dan sejauh ini pemerintah tidak menjelaskan alasan mengapa pemerintah memilih vaksin Sinovac daripada kandidat vaksin yang lain.
Padahal dalam perkembangan pengadaan vaksin, ada kandidat vaksin yang diklaim menunjukkan hasil yang sangat positif dan lebih baik dari Sinovac. Seperti pengembang perusahaan Pfizer yang menyebut vaksin mereka 90 persen efektif, dan Moderna yang mengklaim tingkat efektifitas hingga 94,5 persen.
“Efikasi [Sinovac] mungkin paling rendah dari kandidat vaksin yang ada,” kata Pandu.
“Tiba-tiba datang vaksinnya di Indonesia, itu kan membuat tidak mungkin BPOM tidak mengeluarkan izin penggunaan darurat atau EUA itu,” lanjutnya.
Menurutnya, pemilihan kandidat vaksin sedari awal memang belum transparan. Pandu berpendapat, pemerintah seakan lebih mementingkan pengadaan vaksin untuk lekas membuka keran ekonomi tanpa memikirkan kegunaan vaksin dalam melawan pandemi ini.
“Ini kelihatan kerja sama paling menguntungkan Indonesia, tanpa mengindahkan apakah vaksin ini cukup efektif untuk mengendalikan pandemi. Efikasi masih belum tahu, tapi sudah ditetapkan semester ini berapa dan sebagainya,” jelasnya.
Pendapat senada disampaikan epidemiolog Universitas Airlangga, Windu Purnomo. Dia menilai efikasi kandidat vaksin Sinovac sampai saat ini belum jelas sebab masih melalui uji klinis vaksin fase ketiga.
Efikasi itu, kata Windu, terletak pada bagaimana efektivitas vaksin dalam menangkal virus dalam tubuh sekaligus berapa lama jangkauan vaksin mampu membentuk antibodi dalam tubuh.
“Pihak peneliti dari Unpad memang mengatakan belum ada laporan yang negatif terutama dalam hal keamanan Sinovac, artinya mungkin akan lolos. Hanya yang jadi masalah itu yang harus kita perhatikan efikasi atau kemanjuran,” kata Windu masih dari sumber yang sama.
Sebab, sebagaimana diketahui, pelaksanaan penyuntikan vaksin atau vaksinasi akan dilakukan secara bertahap. Dengan asumsi total 270 juta penduduk Indonesia, maka vaksinasi baru berhasil rampung seluruhnya pada 1,5-2 tahun mendatang.
Berangkat dari hal itu, Windu mengatakan target pemerintah untuk menciptakan herd immunity atau kekebalan tubuh kelompok akan sulit tercapai bila daya tahan antibodi tidak tahan lama di dalam tubuh manusia.
“Kita tidak bisa memberikan vaksinasi sekaligus dalam satu waktu kepada banyak orang. Tentu harus cukup panjang keberadaan antibodi dalam tubuh, atau kita tidak akan pernah mencapai herd immunity,” ujarnya. [wip]