(IslamToday ID) – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Eddy OS Hiariej dilantik sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Rabu (23/12/2020). Pria kelahiran Ambon, 10 April 1973 itu meraih gelar profesor di usia yang terbilang muda yakni 37 tahun.
Selama ini, Eddy dikenal sebagai sosok akademisi yang kerap dimintai pendapat terkait isu-isu di bidang hukum. Eddy juga tercatat beberapa kali menjadi ahli dalam persidangan. Salah satunya, ia dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus penodaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017 lalu.
Namun, kehadiran Eddy pada saat itu sempat menimbulkan persoalan yang membuat jaksa penuntut umum menolak kesaksian Eddy. Pasalnya, kata jaksa Ali Mukartono, Eddy sempat menghubungi jaksa dan menyatakan bahwa dirinya akan diajukan sebagai saksi ahli oleh penasihat hukum jika jaksa tak menghadirkannya sebagai ahli. Jaksa sendiri sudah berniat akan mengajukan Eddy sebagai saksi ahli hukum pidana.
“Asumsi saya terjadi hubungan antara penasihat hukum dengan yang bersangkutan. Padahal yang bersangkutan tahu bahwa dia menjadi ahli, itu yang mengajukan penyidik, bukan penasihat hukum,” kata Ali saat itu seperti dikutip dari Kompas, Rabu (23/12/2020).
Selain itu, nama Eddy juga sempat menjadi perbincangan ketika ia menjadi ahli dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat itu, Eddy dihadirkan sebagai ahli oleh pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Jokowi-Maruf.
Dalam sidang tersebut, kredibilitas Eddy sempat dipertanyakan Bambang Widjojanto yang saat itu menjadi Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo-Sandi. Ketika itu, Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis Eddy terkait persoalan pemilu. Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.
Namun, ia menekankan seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum. “Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya,” ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).
Eddy juga pernah menjadi ahli dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang kerap dikenal sebagai kasus kopi sianida.
Kendati kini bergabung dalam pemerintahan, Eddy juga dikenal sebagai salah satu sosok yang mengkritik UU Cipta Kerja. Ia mengatakan, UU Cipta Kerja berpotensi menjadi “macan kertas” karena tidak memiliki sanksi yang efektif. Ia juga menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai prinsip titulus et lex rubrica et lex yang berarti isi dari suatu pasal itu harus sesuai dengan judul babnya.
“Dia (UU Cipta Kerja) bisa sebagai macan kertas. Artinya apa? Artinya sanksi pidana dan sanksi-sanksi lainnya bisa jadi dia tidak bisa berlaku efektif,” kata Eddy dikutip dari Tribun News, Rabu (7/10/2020).
“Saya melihat dalam RUU Cipta Kerja itu ada sanksi pidana di dalamnya, tetapi di atas tertulisnya adalah sanksi administrasi. Padahal sanksi administrasi dan sanksi pidana itu adalah dua hal yang berbeda secara prinsip. Jadi judulnya sanksi administrasi, sementara di bawahnya itu sanksi pidana isinya,” tambah Eddy.
Ia juga menilai ada kesalahan konsep penegakan hukum dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi ketika melakukan pelanggaran. Sebab, dalam UU itu pertanggungjawaban korporasi berada dalam konteks administrasi atau perdata.
Namun, aturan tersebut juga memuat sanksi pemidanaan bagi korporasi. “Ujug-ujug ada sanksi pidana yang dijatuhkan kepada koorporasi dan celakanya itu adalah pidana penjara,” katanya. [wip]