(IslamToday ID) – Sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) karena telah ditiadakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menggelar Asesmen Nasional (AN) yang akan dimulai pada Maret 2021 mendatang.
Namun, penilaian AN bukan menjadi standar kelulusan peserta didik. Melainkan untuk menilai kualitas pendidikan di suatu wilayah setelah para murid mengikuti tes AN.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Iwan Syahril mengatakan AN ini menyasar kepada bagaimana pendidikan dilakukan secara holistik. Jadi bukan hanya bersifat kognitif, tapi juga karakter hingga emosional karakter.
“AN ini adalah sebagai penunjuk arah tujuan dan praktik pembelajaran. Kompetensi dan karakter murid adalah sebagai tujuan. AN menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama sekolah, yakni pengembangan kompetensi dan karakter murid,” ungkapnya dalam siaran YouTube Ditjen GTK Kemdikbud RI, Selasa (29/12/2020), seperti dikutip dari Jawa Pos.
AN sendiri memiliki tiga komponen penilaian, yakni asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter dan survei lingkungan belajar. Menurut Iwan hal itu untuk menggambarkan filosofi pendidikan Indonesia. Dengan begitu, akan terlihat jelas kemampuan murid warga pendidikan.
“Tujuan AN secara konsep adalah untuk meningkatkan mutu dan asesmen tidak seharusnya hanya dilakukan untuk memantau atau melakukan judgment (penetapan) penilaian kinerja,” ujarnya.
AN dirancang untuk menghasilkan sebuah informasi yang memicu perbaikan kualitas belajar mengajar. Setelahnya, sekolah perlu merancang kembali untuk meningkatkan hasil belajar murid.
“Ini yang menjadi tujuan utama kita. Jadi bagaimana dia memicu perbaikan kualitas belajar mengajar yang pada gilirannya akan meningkatkan hasil belajar murid-murid kita,” terangnya.
Sementara itu, Perhimpunan untuk Pendidikan Guru (P2G) menyebut AN belum siap untuk dilaksanakan.
“P2G meminta Kemendikbud membatalkan rencana pelaksanaan AN Maret 2021,” ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.
Ia menyatakan, ada beberapa alasan AN belum siap untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah hal mendasar, yakni tidak adanya naskah akademik dan Peraturan Menteri yang mengatur AN.
Ia menambahkan, di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, pelaksanaan AN terlalu dipaksakan. Pasalnya, warga pendidikan masih menghadapi tantangan pembelajaran jarak jauh (PJJ), pembiasaan pembelajaran tatap muka (PTM). Jadi melaksanakan AN tidak akan optimal. “Tiba-tiba siswa mesti mengikuti AN, ini sungguh tidak berkeadilan,” serunya.
Masih banyak pelajar, guru dan orang tua yang tidak memahami apa itu AN, sosialisasi yang dilakukan juga tidak terlihat. Menurut Satriwan, persiapan Kemendikbud tidak matang dalam hal sosialisasi.
Kemudian juga, apabila AN bertujuan untuk memotret kualitas pembelajaran di sekolah, maka sejatinya Indonesia telah memiliki potretnya. Kemendikbud bisa melihat nilai Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Programme for International Student Assessment (Pisa), dan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG).
“Hasil semua dari platform penilaian tadi menunjukkan pendidikan Indonesia memang masih rendah,” ucapnya.
Tak Ada Payung Hukum
Pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji juga menyatakan AN hanya memiliki power point untuk penjelasan, namun tidak ada payung hukumnya. Ia pun mempertanyakan, jadi apa yang hendak di sosialisasikan jika pemahaman soal AN tiap pihak berbeda-beda.
“Permendikbud-nya nggak ada, peraturan pemerintahnya nggak ada, tapi suruh sosialisasi, ini kan bingung. Kalau daerah ini dasarnya apa mau sosialisasi, pakai apa, kan akhirnya bikin sendiri-sendiri (pemahaman sendiri),” jelasnya.
Hal ini pun membuat beberapa pihak menginisiasi try out AKM, padahal AN ini seperti yang dikatakan Mendikbud Nadiem Makarim tidak perlu persiapan khusus. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami isi dari AN.
“Tapi karena takut saja, nanti dites daerah kita nilainya jelek makanya harus persiapan, tapi semua nggak pakai dasar karena nggak ada dokumennya, nggak ada naskah akademiknya, nggak ada kajian akademisnya,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia menilai bahwa Kemendikbud sama sekali tidak menjalankan good corporate governance (GCG), baik dari segi keterbukaan dan juga sosialisasi. Ia menganggap Kemendikbud masih harus dibenahi lagi kinerjanya, khususnya dalam hal komunikasi.
“Buat saya ini bukan good governance, ini bukan tata kelola pemerintahan yang baik. Jadi banyak sekali sebetul PR-nya dan inilah paradoksnya. Mereka ingin membuat pelajar Pancasila yang kreatif, tapi mereka sendiri nggak kreatif mau bikin yang gotong-royong mereka nggak mau,” tegasnya. [wip]