(IslamToday ID) – Elemen buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang kini masih menjadi polemik. Padahal Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim melibatkan elemen masyarakat.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan perundingan yang selama ini dilakukan belum mewakili elemen buruh. Alasannya, mayoritas elemen buruh tidak mendapatkan undangan diskusi untuk membahas RPP.
Ia melanjutkan, dari 15 anggota tripartit nasional, delapan orang yang berasal dari KSPI, KSPSI, dan KSBSI tidak mendapatkan undangan. Selanjutnya, tiga dari lima dewan pengupahan unsur buruh juga sama.
Padahal, saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) juga tengah dilakukan uji materi UU Cipta Kerja. Pembahasan RPP yang saat ini sedang gencar dilakukan, menurut Said, tidak bijak dalam menyikapi keberatan buruh.
“Saat ini masih dibahas di MK. Para menteri jangan memaksakan kehendak. Tunggu keputusan MK. Karena presiden menyatakan jika keberatan silakan ke MK,” kata Said, Senin (28/12/2020).
Terpisah, Kementerian Ketenagakerjaan dalam keterangan resminya mengklaim terus melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat dalam penyusunan RPP sebagai aturan turunan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan.
Salah satu elemen masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat daerah dalam dialog sosial pembahasan RPP. Dialog ini juga mengundang unsur tripartit yakni pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Kebijakan Publik, Reyna Usman mengatakan ada empat RPP yang terus dikebut untuk dirampungkan, yakni RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; RPP tentang Hubungan Kerja, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja; RPP tentang Pengupahan (Revisi sebagian PP No 78 Tahun 2015); dan RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Pentingnya elemen di daerah dilibatkan dalam pembahasan RPP turunan UU No 11 Tahun 2020 sebagai wujud dari partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, termasuk masyarakat di daerah,” ujar Reyna seperti dikutip dari FIN, Rabu (30/12/2020).
Reyna berpendapat partisipasi masyarakat di daerah akan mendorong terciptanya komunikasi publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah.
Pelibatan masyarakat daerah, kata Reyna, juga merupakan bentuk keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap substansi klaster ketenagakerjaan.
Reyna menambahkan, sebagai subjek yang akan menerima dampak pemberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No 11 Tahun 2020 ini, masyarakat di daerah harus dilibatkan dan ikut menentukan arah kebijakan agar nantinya aturan turunan UU dapat diterima dan dilaksanakan.
“Selain mencari masukan dari masyarakat di daerah, daerah juga bisa mengantisipasi hal-hal yang mereka perlukan setelah ditetapkannya UU dan aturan turunannya,” tandasnya. [wip]