(IslamToday ID) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi dan menentukan kebijakan sepanjang 2020 masih mengecewakan. Bahkan, tahun ini publik dibuat resah dengan beberapa produk hukum yang diterbitkan pemerintah.
Menurut peneliti ICW Egi Primayoga, beberapa produk hukum tersebut di antaranya Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Cipta Kerja.
Menurut Egi, produk-produk hukum ini mempermudah elite politik dan bisnis untuk membajak proyek-proyek negara tanpa ditindak secara hukum.
“Perppu (No 1/2020) ini juga memberi keuntungan bagi pengusaha. Terdapat pasal penurunan pajak korporasi dari yang awalnya 25 persen menjadi 22 persen,” katanya dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun Pemberantasan Korupsi ICW, Rabu (30/12/2020), seperti dikutip dari Kata Data.
Kemudian pada revisi UU Minerba yang sudah disahkan, perusahaan pertambangan mendapat jaminan perpanjangan izin, untuk mengeksploitasi sumber daya mineral dan batubara, serta tidak diharuskan untuk berhadapan dengan BUMN, apabila hendak memperpanjang izinnya.
Jika merujuk UU Minerba sebelumnya, izin-izin yang habis masanya diproritaskan untuk dikelola oleh BUMN maupun BUMD. “Karena itu, negara memiliki kesempatan untuk mengelola sumber daya secara mandiri. Tapi, pasca revisi, kesempatan itu jadi raib,” ujarnya.
Egi pun menyoroti UU lainnya, yakni revisi UU MK yang dinilai bermasalah dan sarat konflik kepentingan. Pasalnya, saat UU ini disahkan pada 1 September 2020, MK sedang menyidangkan dua produk hukum yang diusulkan oleh presiden dan DPR, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu No 1/2020.
“Pengaturan mengenai batas waktu usia hakim MK yang lebih panjang, diduga agar tidak mengubah konfigurasi hakim MK yang dapat menguntungkan pemerintah atau DPR,” katanya.
Kemudian, pada tanggal 5 Oktober DPR mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja. ICW memiliki sejumlah catatan terkait beleid ini, seperti pasal-pasal yang menguntungkan pengusaha, proses pembahasan yang cacat prosedur, ancaman terhadap desentralisasi, dugaan konflik kepentingan, hingga masalah asimetris informasi.
Ia menilai seluruh proses pembahasan produk hukum itu dilakukan secara cepat dan terburu-buru. Ia juga menilai pengesahan UU itu juga memanfaatkan kondisi Covid-19, sehingga pengawasan publik menjadi lemah.
Dari perspektif tersebut, Egi menilai pengesahan produk hukum ini merupakan bentuk konsolidasi elite politik dan bisnis yang semakin kuat mencengkeram demokrasi. Selain itu, masih ada kebijakan lain yang menimbulkan kontroversi, yakni program kartu pra kerja yang diluncurkan pada Maret 2020.
ICW menilai, program ini tidak efektif dan efisien karena banyak materi pelatihan telah tersedia secara gratis di platform digital. “Program boros ini juga terkesan dipaksakan, karena dilakukan di tengah wabah corona. Anggaran yang dikucurkan pun mencapai Rp 20 triliun,” ujarnya.
Kepercayaan Publik Menurun
Sementara itu, menurut peneliti ICW lainnya, Kurnia Ramadhana, kepercayaan publik terhadap kinerja penegakan hukum sepanjang tahun ini juga turun, terutama terhadap penanganan korupsi.
Kinerja kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK menjadi sorotan. Salah satunya karena kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Ini lantaran alih-alih mengungkap kasus tersebut, kepolisian malah menciptakan kegaduhan.
“Mulai dari dugaan menghilangkan barang bukti, intervensi saksi, hingga menyediakan pendampingan hukum pada dua terdakwa. Jadi wajar publik mempertanyakan kinerja polisi saat mengusut kasus tersebut,” katanya.
Kejaksaan Agung pun memiliki problematika yang serupa. Di satu sisi, kejaksaan telah berhasil mengungkap perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun.
Namun di sisi lain, kejaksaan dinilai gagal dalam mengusut kasus buronnya tersangka korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, yang melibatkan oknum jaksanya sendiri yakni jaksa Pinangki Sirna Malasari.
“Selama proses penyidikan maupun penuntutan perkara, pemerimaan suap dari buronan Joko Tjandra, terlihat ada upaya dari kejaksaan untuk menutup-nutupi keterlibatan pihak lain,” katanya.
Padahal sepanjang semester I, ICW menilai kinerja penindakan kasus korupsi di Indonesia rendah. KPK memiliki kinerja paling rendah dibandingkan Kejaksaan Agung dan kepolisian. KPK hanya melakukan penindakan terhadap enam kasus dengan 38 tersangka.
Sementara, Kejaksaan Agung telah menindak 91 kasus korupsi dengan 198 tersangka selama semester I/2020. Adapun kepolisian telah menindak 72 kasus korupsi dengan 156 tersangka sejak Januari-Juni 2020. [wip]