(IslamToday ID) – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai niat Presiden Jokowi merevisi UU ITE hanya pengecilan masalah kebebasan berpendapat.
Ia juga menilai revisi UU ITE hanyalah pengalihan isu dari problem kebebasan berpendapat yang lebih besar.
Menurut Asfina, problem sebenarnya adalah demokrasi Indonesia sudah tergerus sangat dalam, terutama terkait kebebasan menyampaikan pendapat.
“Pernyataan Pak Presiden mau merevisi UU ITE itu, kalau serius ya, adalah pengecilan masalah kebebasan berpendapat dan juga pengalihan masalah inti, yaitu tergerusnya demokrasi Indonesia,” kata Asfina dalam sebuah webinar seperti dikutip dari Tempo, Sabtu (20/2/2021).
Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan terbukanya peluang untuk merevisi UU ITE. Jokowi juga mengatakan Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi.
Asfina membeberkan bukti-bukti dari tergerusnya demokrasi dalam kebebasan berpendapat tersebut. Ia mencontohkan berbagai telegram Kapolri yang isinya mengancam kebebasan berpendapat.
Misalnya, telegram yang menginstruksikan jajarannya melaksanakan patroli siber memantau hoaks mengenai Covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah. Telegram itu menggunakan Pasal 207 KUHAP terkait penghinaan kepada presiden.
Padahal, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pasal itu harus bersifat delik aduan. Selain itu, ada juga telegram Kapolri menjelang aksi penolakan pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020.
Kapolri, ketika itu Jenderal Idham Azis, memerintahkan jajarannya membangun opini di media sosial untuk melawan narasi penolakan UU Cipta Kerja. Asfina menilai, kepolisian berlaku seperti Departemen Penerangan di era Orde Baru yang melakukan kontranarasi. Selain itu, Kapolri juga menginstruksikan pencegahan aksi unjuk rasa dari hulu hingga hilir.
“Ada pelanggaran-pelanggaran yang menjadi turunan dari telegram Kapolri, kalau kita anggap ini pelanggaran HAM berat (dalam kebebasan berpendapat), sistematisnya sudah terbukti karena ada kebijakannya,” ujarnya.
YLBHI juga mencatat ada banyak persoalan dalam penegakan hukum yang terkait kasus kebebasan berpendapat. Dari 103 tersangka di kasus ini, katanya, hanya 29 tersangka di antaranya yang diambil keterangan setelah ditahan. Padahal merujuk KUHAP, penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan.
“Artinya kalau di Indonesia, penahanan tidak untuk kepentingan pemeriksaan tetapi menjadi instrumen akselerasi penghambatan kebebasan berpendapat,” kata Asfina.
Maka dari itu, Asfina meminta pemerintah tak cuma berbicara tentang revisi UU ITE. Lebih jauh dari itu, ia mengatakan problem kebebasan berpendapat bukan hanya terletak pada UU ITE. “Tapi juga ada pelanggaran hak sipil untuk orang yang menyampaikan pendapat di muka umum atau demonstrasi dan ketika masyarakat mencari dan menyampaikan informasi,” pungkasnya. [wip]