ISLAMTODAY ID — Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berlangsung di Deli Serdang, Sumatera Utara pada Jum’at (5/3) membuat semua pihak tercengang.
Di Indonesia fenomena ‘kudeta’ di Partai juga bukan hal yang baru, bahkan peristiwa serupa kerap terjadi sejak orde baru hingga saat ini.
Peristiwa boleh sama tapi penyebab dan pemainnya bisa saja berbeda, kali ini aksi ‘kudeta’ KLB ini justru dilakukan oleh kalangan elit politik.
Peta Politik Orba
Kisah kudeta partai politik yang belakangan kerap terjadi dan salah satunya kini tengah menimpa Demokrat rupanya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia.
Salah satunya peta perpolitikan yang terjadi pada era Orde Baru. Presiden Soeharto meringkas jumlah partai yang ada menjadi tiga partai saja seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Golongan Karya (Golkar).
“Melihat kasus KLB Demokrat ini kita tidak bisa lepas dari zamannya orde baru. Zaman orde baru semua partai-partai politik yang begitu banyak diringkas menjadi tiga,” kata Usman Amirodin Tokoh pergerakan senior di kota Solo kepada IslamToday (Sabtu, 6/3/2021).
“Dan diarahkan sudah bukan kepada political oriented tapi kepada pembangunan oriented. Nah karena diarahkan kepada pembangunan oriented ini menciptakan elite-elite politik yang pragmatis, tidak idealis,” jelasnya.
Usman mengungkapkan salah satu dampak dari pola tersebut lahirlah elite-elite politik yang berorientasi pada masalah untung-rugi. Mentalitas pragmatis para elite politik ini salah satunya sangat berorientasi pada hasil seperti materi atau jabatan. Hal-hal seperti ini bahkan terjadi hingga era reformasi, para elite politik sudah terpola, terbiasa berpikir pragmatis bukan idealis.
“Ini yang mempengaruhi kondisi partai politik mempengaruhi para elite politik. Bagi penguasa itu lebih mudah menghadapi elite-elite politik yang pragmatis karena mereka berpikirnya hanya masalah untung atau rugi,” jelasnya.
Ia pun menduga pemikiran pragmatis seorang politisi juga muncul di dalam kubu partai Demokrat. Hal-hal seperti ini pun menjadi sangat rawan terjadi di hampir semua partai politik, apalagi Demokrat adalah partai yang tidak berkoalisi dengan pemerintahan.
“Sesungguhnya bagi kader-kader partai politik kalau terjadi hal-hal yang tidak disetujui, kalau dia benar-benar sebagai kader yang idealis tidak pragmatis pasti akan diselesaikan di internal partainya. Bukan justru malah minta dukungan diluar partai,” tutur Usman.
“lebih-lebih dukungan dari para pejabat penguasa untuk membuat onar di internal partainya,” terangnya.
Usman pun mengingatkan kita akan tragedi kudeta partai PDI (PDIP-sekarang) pada tahun 1996. Saat itu PDIP menolak tawaran Soeharto untuk gabung dalam pemerintahan. Insiden berdarah antara kader PDI saat itu melibatkan dua kubu yakni kubu Soerjadi dan kubu Megawati.
“Peristiwa tahun 1996 mengenai PDI waktu itu yang dipegang oleh ibu Mega karena tidak mau gabung di pemerintahan yang ada maka dirusak. Terkenal dengan kasus Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli),” ungkap Usman.
Pecahnya Oligarki
Pernyataan Usman sejalan dengan pernyataan pengkaji geopolitik dari Global Future Institute (GFI), Hendrajit. Ia menyebut kudeta Partai Demokrat yang kemudian memunculkan nama Moeldoko ini ialah pertarungan antar elite politik. Di samping itu tindakan kudeta ‘kasar ala preman’ yang dilakukan oleh Moeldoko tersebut makin menunjukan bahwa telah tejadi perpecahan di antara para oligarki.
“Jadi yang harus di lihat bukan soal istana atau nggak jadi ada persoalan di oligarki yang pecah. Jadi oligarki pecah jadi pertarungan bukan antara rakyat dengan elit ini antar elit,” ucap Hendrajit saat dihubungi IslamToday pada Sabtu (6/3/2021).
Ia juga menjelaskan jika jika kasus kudeta PDIP dan Demokrat terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Kudeta PDIP saat itu memunculkan perseteruan antara figur atau sosok yang mewakili rakyat kecil dalam hal ini kubu Megawati. Sementara dari pihak pemerintah saat itu menerjunkan Soerjadi untuk melakukan kudeta di PDIP.
“Kalau sekarang kan Moeldoko langsung yang turun, ini bukan agen proksi memang dia bagian integral dari oligarki,” ujar Hendrajit.
Hendrajit menuturkan bahwa rakyat Indonesia harus berterima kasih kepada Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Sebab ia berjasa dalam membuka topeng dari sistem politik dan praktik oligarki yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 1999 hingga kini.
“Kita juga terimakasih dengan namanya Pak Moeldoko karena dia sudah membuka topeng dari sistem politik dan praktik oligarki yang sebetulnya berkedok demokrasi,” ungkap Hendrajit.
“Jadi oligarki dan kartel politik ini walaupun dalam koalisi lintas partai, intinya kan segelintir elite politik yang kemudian membangun garis batas antara rakyat sama oligarki,” jelas Hendrajit.
Hendrajit pun menjelaskan mengenai ‘topeng demokrasi’. Kedok demokrasi tersebut terlihat dalam praktik aspirasi yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR selaku wakil rakyat. Dimana fungsi tersebut akhirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Jadi partai dan DPR yang misalnya selama ini jadi penyalur rakyat seharusnya, tapi dalam praktiknya karena oligarki dan kartel ini (justru) meng-isolir atau mengcapture sistem ini hanya untuk kekuatan ekslusif (bagi) para elit.”
“Maka demokrasi praktis sebetulnya nggak jalan, sudah sekedar menjadi topeng bagi praktik (oligarki) ini,” terangnya.
KLB Tidak Sah
Catatan kritis terkait KLB Demokrat ini juga diungkapkan oleh peneliti Yudicial Corruption Watch (YCW), Dr. Muhammad Taufiq. Ia mengungkapkan bahwa hasil dari KLB di Deli Serdang tersebut tidak sah. Ada sejumlah faktor atau penyebab yang membuat terpilihnya Moeldoko itu tidak sah.
Ia mengatakan bahwa Musyawarah Nasional (Munas) ialah sebuah forum tertinggi bagi sebuah partai. Acara tersebut diselenggarakan oleh seluruh anggota partai yang memang sah secara hukum dan bisa dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA). Apalagi status Moeldoko bukan anggota partai tentu ia tidak punya hak pilih atau dipilih.
“Moeldoko bukan anggota Demokrat, tentu saja tidak punya hak pilih dan dipilih. Ini bukan pilgub (Pemilihan Gubernur) atau pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) nggak bisa ngawur,” ujar Taufiq.
Ia juga menjelaskan bahwa dari segi penyelenggaraan saja KLB tersebut sudah tidak sesuai prosedur. Panitia KLB Demokrat merupakan kader-kader yang status keanggotaanya telah dipecat. Tidak hanya itu pihak aparat kepolisian bahkan menyebut KLB tersebut berjalan tanpa izin dari kepolisian.
“Kalau KemenkumHAM sampai mengesahkan itu sudah kasar banget, tidak professional, tidak procedural dan kelihatan sekali nafsu serakahnya untuk berkuasa,” pungkasnya.
Reporter: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza