(IslamToday ID) – Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) menyatakan lebih dari 10.000 pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) terancam bangkrut, dengan lebih dari 50.000 karyawan di sektor terkait terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini menyusul lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2021 yang dikeluarkan pada Februari lalu. Beleid tersebut merupakan turunan dari UU Omnibus Law yang mengatur pelaksanaan pengajuan SNI bagi mainan impor.
AMI menyebut peraturan tersebut sangat memberatkan para pengusaha di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Dalam keterangan resminya, AMI menyebut aturan tersebut berlaku tanpa adanya masa transisi dan sosialisasi, sehingga lembaga sertifikasi sebagai pelaku pelaksana dan para pengusaha mengaku tidak siap, karena dapat berakibat kepada penghentian impor mainan dalam kurun waktu 1-3 bulan ke depan.
“Hal ini yang akan mengancam keberlangsungan usaha para UKM mainan di seluruh Indonesia yang diperkirakan ada lebih dari 10.000 UKM dan lebih dari 50.000 karyawan yang bisa terancam bangkrut dan di-PHK,” tulis AMI dalam siaran pers seperti dikutip dari Kontan, Kamis (20/5/2021).
Ada sembilan poin yang dirasa memberatkan dalam aturan baru pengajuan SNI mainan impor tersebut. Pertama, pengambil contoh mainan yang biasanya memakai tenaga kerja yang berada di negara asal, sekarang harus dari tenaga kerja Indonesia. Kondisi tersebut sangat menyulitkan para pelaku usaha di tengah kondisi pandemi seperti saat ini.
“Dalam kondisi pandemi untuk mendapatkan visa itu sangat sulit, karena banyak persyaratannya. Juga harus ada masa karantina bagi orang Indonesia yang pergi ke China hingga 21 hari, ini mengakibatkan beban biaya yang berat untuk para pengusaha,” lanjutnya.
Kedua, Lembaga Sertifikasi telah mendapatkan surat peringatan agar tidak melakukan sertifikasi memakai tenaga asing pada awal Mei lalu. Padahal dalam peraturan yang ada, tertulis masih dalam masa transisi hingga Februari 2022, hal ini membingungkan mereka karena tidak ada konsistensi antara peraturan dan pelaksanaan di lapangan.
Ketiga, peraturan yang diterapkan terlalu mendadak, sehingga para pengusaha yang sudah terlanjut melakukan pemesanan barang, tidak bisa mengimpor barang tersebut. Hal itu karena semua Lembaga Sertifikasi tidak bisa menerima pengajuan permohonan SNI sebagai syarat izin impor untuk produk mainan.
“Karena Lembaga Sertifikasi belum mempersiapkan para pengambil contoh untuk memenuhi syarat pengajuan visa khususnya untuk ke negara China,” lanjut AMI.
Keempat, para UKM mainan akan kehilangan 60 persen suplai stok toko yang biasa disuplai oleh para importir mainan. Kondisi tersebut ditakutkan akan mengancam keberlangsungan usaha mereka dan juga berakibat pada penurunan tingkat penjualan toko.
Kelima, aturan yang diberlakukan secara mendadak tidak diimbangi dengan solusi untuk menjamin ketersedian barang bagi para UKM yang bergelut di lini bisnis mainan.
Keenam, AMI menilai industri dalam negeri saat ini belum siap untuk mengisi kekosongan atau kebutuhan barang mainan dikarenakan tren produk mainan yang cepat berubah. Ditambah infrastruktur atau ekosistem industri mainan tanah air yang masih jauh dari kata siap untuk menyediakan kebutuhan industri mainan yang sangat dinamis.
Ketujuh, ancaman juga terjadi bagi para importir dan usaha lainnya yang selama ini hidup dari penjualan mainan.
“Kebijakan PP 28 terlihat hanya kebijakan semu dan langkah sesaat untuk terlihat neraca perdagangan surplus, padahal kran impor ditutup. Kami melihat hal tersebut sangat tidak selaras dengan bunyi UUD 45 pasal 33 yang intinya perekonomian yang berkeadilan, kebijakan pemberlakuan PP 28 dapat berdampak luas dengan ditutupnya usaha dan bertambahnya tingkat pengangguran,” jelas AMI.
Kedelapan, aturan tersebut akan berdampak juga kepada toko-toko mainan di segmen modern market yang menjual mainan bermerek, di mana produk tersebut hampir 80 persennya didapatkan dari hasil impor. Kebijakan yang ada dapat mengancam toko mainan di modern store ataupun shopping centre karena kekosongan barang dalam jangka panjang.
Dan terakhir, persyaratan pengajuan visa China yang tidak bisa dilakukan dengan segera karena beberapa alasan. Diantaranya orang yang mengajukan visa harus sudah divaksin dua kali dengan menyertakan sertifikat vaksin, memberikan informasi jadwal harian secara detail kepada kedutaan China, mendapatkan surat undangan dari perusahaan untuk pengajuan visa, mendapatkan surat persetujuan dari pemerintah daerah lokasi untuk kedatangan yang mengajukan visa di China, akan di karantina 14 hari di lokasi dekat airport dan tujuh hari di daerah tempat kunjungan, dan tes PCR lengkap berangkat dan pulang.
“Hal-hal ini sungguh sangat memberatkan bagi para UKM mainan Indonesia dan kiranya pemerintah bisa meninjau ulang masalah ini, dan kami dari Asosiasi Mainan Indonesia bersedia untuk berdiskusi bersama untuk mencari jalan keluar,” pungkas AMI. [wip]