(IslamToday ID) – Pemerintah dinilai tidak berani mengejar orang-orang kaya yang nilep pajak dan tidak mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016-2017 lalu. Makanya, pemerintah kini berencana menyelenggarakan tax amnesty jilid II untuk menjaring lagi potensi pajak dari pengusaha kelas kakap.
“Pengampunan pajak itu tidak pernah dua kali, sekali saja cukup. Dugaan saya pemerintah tidak berani mengejar orang-orang kaya, perusahaan yang nilep pajak yang belum ikut tax amnesty,” kata ekonom Faisal Basri seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (24/5/2021).
Padahal, seharusnya pemerintah mengejar pengusaha kelas kakap yang belum mengikuti amnesti pajak jilid I dengan memberlakukan denda. Misalnya, mereka diwajibkan bayar pajak 2-3 kali lipat dari yang seharusnya.
“Kan harusnya dikejar, kalian sudah saya kasih kesempatan, kalian masih tidak memanfaatkan itu. Sekarang kalian bayar pajak 2-3 kali lipat. Tapi, kan pemerintah takut,” tutur Faisal.
Terlebih, ia menganggap rencana pemerintah untuk menyelenggarakan program tax amnesty jilid II juga akan membuat wajib pajak (WP) yang ikut dalam tax amnesty jilid I kesal. Apalagi, kalau diskon yang ditawarkan pemerintah dalam tax amnesty jilid II lebih besar ketimbang sebelumnya.
“Bikin kesal yang sudah ikut tax amnesty jilid I. Apalagi, kalau tax amnesty sekarang pengampunan pajaknya lebih surgawi,” ucap Faisal.
Selain itu, rencana tax amnesty jilid II juga berpotensi membuat masyarakat malas membayar pajak. Mereka akan berpikir bahwa pemerintah akan menyelenggarakan tax amnesty jilid III dan seterusnya.
“Kredibilitas pemerintah turun. Pengampunan pajak itu tidak pernah dua kali. Satu kali saja cukup,” tegas Faisal.
Selain itu, ia menilai tax amnesty jilid II tak menaikkan rasio pajak signifikan. Sebab, mayoritas wajib pajak sudah ikut dalam program tax amnesty jilid I.
“Kalau jilid II kenaikannya (rasio pajak) bisa-bisa semakin kecil, karena kan hampir semua sudah ikut. Jadi efeknya akan relatif kecil,” terang Faisal.
Berdasarkan data yang ia miliki, rasio pajak pada 2016 sebesar 10,4 persen dan 2017 sebesar 9,9 persen. Lalu, rasio pajak pada 2018 naik menjadi 10,2 persen.
Setelah itu, rasio pajak turun menjadi 9,8 persen pada 2019. Rasio pajak pun terus turun menjadi 8,3 persen pada 2020.
Sebagai informasi, data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan total wajib pajak yang ikut tax amnesty jilid I sebanyak 956.793. Nilai harga yang diungkap sebesar Rp 4.854,63 triliun.
Namun, komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp 147 triliun. Jumlah itu setara dengan 14,7 persen dari target yang ditetapkan mencapai Rp 1.000 triliun.
Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.031 triliun.
Selanjutnya, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp 114,02 triliun. Angka itu setara dengan 69 persen dari target Rp 165 triliun.
Uang tebusan terbesar berasal dari wajib pajak orang pribadi non usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai Rp 91,1 triliun. Kemudian, uang tebusan dari wajib pajak badan non UMKM sebesar Rp 14,6 triliun.
Lalu, uang tebusan dari orang pribadi UMKM sebesar Rp 7,73 triliun. Sementara, uang tebusan dari badan UMKM sebesar Rp 656 miliar.
Mencederai Rasa Keadilan
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susanto menilai rencana tax amnesty jilid II tidak memberi rasa keadilan bagi wajib pajak yang patuh.
“Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit akan tercederai. Secara psikologis hal ini juga buruk karena dapat menciptakan paham: saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty lagi,” ungkapnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Indonesia sudah pernah melaksanakan tax amnesty pada 2016 silam. Andreas menilai kebijakan tersebut harusnya diberikan satu kali dalam satu generasi. Selain mengganggu sistem perpajakan ke depannya, hal itu juga merusak kewibawaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Kami tidak setuju dengan wacana tax amnesty jilid II sebagaimana beredar. Hal ini sangat tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan kita. Tidak saja mengingkari komitmen tahun 2016, bahwa tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi,” jelas Andreas.
Pada 2016, tax amnesty berlangsung selama 9 bulan dengan pembagian 3 tahap sesuai tarif yang juga berbeda. Hasilnya deklarasi harta mencapai Rp 4.800 triliun, repatriasi Rp 146 triliun, dan uang tebusan Rp 130 triliun.
Pemerintah telah mendapatkan basis data untuk meningkatkan penerimaan pajak selanjutnya. Apalagi setelahnya pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU No 9 Tahun 2017.
“Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat, sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko. Untuk itu kami mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data/informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik,” terang anggota Fraksi PDIP tersebut.
Andreas menyadari persoalan saat ini adalah rendahnya penerimaan pajak, sementara belanja untuk pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi sangat besar. Pemerintah juga tidak mungkin mengandalkan utang terus menerus.
Namun tetap saja solusinya bukan tax amnesty. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.
“Untuk memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program) dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi. Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan/atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur,” ujar Andreas. [wip]