(IslamToday ID) – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana akan menghentikan tindak pidana bagi para pengemplang pajak. Sebagai gantinya, Kemenkeu akan fokus terhadap penyelesaian administrasi demi mendapatkan penerimaan negara.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi, Yustinus Prastowo mengatakan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) berciri ultimum remedium, yang mana penyelesaian administrasi dengan pembayaran untuk mendapatkan penerimaan negara diprioritaskan daripada hukuman pidana.
Menurutnya, maksud dari pidana adalah menciptakan efek gentar dan jera kepada wajib pajak (WP), agar WP tidak melakukan tindak pidana perpajakan yang merugikan keuangan negara.
“Maka WP yang salah mengisi SPT masih bisa membetulkan dengan dikenai sanksi bunga, ketika diperiksa melakukan pengungkapan dikenai sanksi sampai dengan 100 persen, dan bahkan ketika sudah disidik masih boleh membayar pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi 300 persen (UU lama 400 persen),” kata Prastowo seperti dikutip dari Detikcom, Rabu (26/5/2021).
Dengan penerapan sanksi tersebut, dikatakannya, maka negara akan mendapatkan penerimaan yang besar dibandingkan tindak pidana yang mayoritas hanya kurungan dengan denda rendah.
Selain itu, kata Prastowo, hasil evaluasi lapangan dan koordinasi dengan penegak hukum menyatakan banyak WP yang tidak mau menyelesaikan perbaikan administrasi. Namun ketika sudah dibawa ke persidangan para WP siap melunasi.
“Nah saat ini tidak ada jalan keluarnya. Ya harus tuntas sampai divonis. Ini yang ingin diatasi dengan jalan keluar, sepanjang belum dituntut boleh membayar pajak yang kurang dengan sanksi 300 persen dan khusus pidana pasal 39A dikenai sanksi 400 persen,” katanya.
“Jadi pengaturan ini tetap sejalan dengan spirit UU KUP dan justru memberi jalan keluar,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta dukungan Komisi XI DPR RI dalam menyempurnakan administrasi perpajakan. Dalam penyempurnaannya ini, dikatakannya, penuntutan pidana para pengemplang pajak dihentikan dan diutamakan kepada sanksi pembayaran administrasi.
“Kita juga butuhkan dukungan DPR untuk kuatkan administrasi perpajakan. Menghentikan penuntutan pidana, namun melakukan pembayaran dalam bentuk sanksi administrasi,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (24/5/2021).
Dengan usulan penghentian penuntutan pidana, pemerintah akan fokus terhadap penerimaan negara. Namun usulan ini tidak serta merta hanya untuk itu.
“Jadi fokusnya lebih pada revenue dan kerja sama dalam mitra-mitra penagihan perpajakan kita. Dalam reform ini tujuannya bukan hanya collect, namun menuju pada sustainability APBN ke depan,” ujarnya.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah berupaya agar APBN dapat dijalankan secara berkelanjutan. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, APBN semua negara dihadapkan dengan defisit yang cukup tinggi.
Dengan begitu, ada potensi utang pemerintah yang meningkat untuk menambal selisih antara penerimaan dengan belanja negara.
“Dalam hal ini kita juga harus melihat bahwa ini adalah suatu respons yang hati-hati pada sebuah negara ketika menghadapi situasi yang extraordinary,” ungkapnya.
Kerugian Negara
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu Suryo Utomo angkat bicara soal temuan tax avoidance atau penghindaran pajak yang diestimasi merugikan negara hingga Rp 68,7 triliun per tahun.
Temuan tersebut diumumkan oleh Tax Justice Network melaporkan akibat penghindaran pajak, Indonesia diperkirakan rugi hingga 4,86 miliar dolar AS per tahun. Angka tersebut setara dengan Rp 68,7 triliun bila menggunakan kurs rupiah pada penutupan di pasar spot Senin (22/11/2020) sebesar Rp 14.149 per dolar AS.
Dalam laporan Tax Justice Network yang berjudul The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of Covid-19 disebutkan dari angka tersebut, sebanyak 4,78 miliar dolar AS setara Rp 67,6 triliun diantaranya merupakan buah dari pengindaran pajak korporasi di Indonesia. Sementara sisanya 78,83 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,1 triliun berasal dari wajib pajak orang-orang pribadi.
Suryo mengatakan, untuk meminimalisasi tax avoidance, pihaknya melakukan pengawasan terhadap transaksi yang melibatkan transaksi instimewa. Kata Suryo, biasanya tax avoidance muncul karena transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak yang mempunyai hubungan instimewa baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Saat ini, Ditjen Pajak memantau transaksi istimewa tersebut berdasarkan data informasi keuangan yang ada di luar negeri. Upaya ini, memanfaatkan hubungan antarnegera. Dalam hal ini Indonesia dengan negara treaty partner melakukan pertukaran informasi terkait dengan adanya transaksi tersebut.
“Kami terus melakukan, bagaimana melihat dan meneliti terjadinya transfer pricing termasuk debt to equity ratio dalam rangka mencegah adanya base erosion and profit shifting (BEPS),” kata Suryo dalam Konferensi APBN Laporan Periode Realisasi Oktober seperti dikutip dari Kontan, Senin (23/11/2020).
Sebagai info, temuan Tax Justice Network menyebutkan dalam praktiknya perusahaan multinasional mengalihkan labanya ke negara yang dianggap sebagai surga pajak. Tujuannya untuk tidak melaporkan berapa banyak keuntungan yang sebenarnya dihasilkan di negara tempat berbisnis. Dus, korporasi akhirnya membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya.
Sementara, untuk wajib pajak orang pribadi yang tergolong orang kaya menyembunyikan aset dan pendapatan yang dideklarasikan di luar negeri, di luar jangkauan hukum.
“Penyalahgunaan pajak perusahaan, di mana negara-negara berpenghasilan rendah kehilangan setara dengan 5,5 persen dari pendapatan pajak yang dikumpulkan dan negara-negara berpenghasilan tinggi kehilangan 1,3 persen,” sebagaimana dikutip dalam The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of Covid-19, Senin (23/11/2020).
Sebagai gambaran, Kemenkeu mamatok target penerimaan pajak di tahun ini mencapai Rp 1.198,82 triliun. Artinya, estimasi penghindaran pajak itu setara dengan 5,7 persen dari target akhir 2020. Perkiraan nilai penghindaran pajak itu juga setara 5,16 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2019 yang senilai Rp 1.332 triliun. [wip]