(IslamToday ID) – Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menilai adanya arus impor yang terlalu besar ke Indonesia akan membuat industri lokal bisa hancur dan daya bertahannya hanya sebentar.
“Studi dari World Economic Forum (WEF) menuliskan bahwa impor tidak berkualitas, murah, hanya menghancurkan industri lokal dan juga merusak tata niaga perdagangan Indonesia,” katanya dalam diskusi online “Bangga dengan Belanja Barang Buatan Indonesia” yang disiarkan secara virtual, Senin (31/5/2021).
Oleh sebab itu, dalam waktu dekat ini, Kemendag akan menyiapkan rambu-rambu atau batasan-batasan untuk menciptakan perdagangan Indonesia yang seimbang, adil, dan beradab.
Lutfi mengatakan, saat ini para pedagang hijab di Tanah Abang telah banyak ditiru produknya oleh perusahaan luar negeri.
Dengan memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI), produsen asing bisa membuat hijab dalam skala besar.
“Produk hijab yang diproduksi ini mereka bisa tahu bentuknya, warnanya kayak apa, dan harganya berapa. Dapat dibayangkan bahwa produk hijab yang dihasilkan oleh anak bangsa akan kalah bersaing dari sisi harganya karena hasil yang mereka copy dijual murah,” jelasnya seperti dikutip dari Kompas.
Lutfi mengatakan untuk menciptakan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam hal produk-produk buatan lokal, pemerintah dalam waktu dekat ini akan menggenjot usaha busana muslim dan makanan muslim.
Ia menilai seharusnya busana muslim bisa mendapatkan pasar yang loyal, pasar yang sangat dinamis, pasar yang baik, dan pasar yang bisa menjadikan pertumbuhkembangan daripada industri lokal tersebut.
Industri makanan halal juga memiliki potensi yang sangat besar.
“Dari 1,7 miliar jumlah penduduk yang merupakan bagian dari negara OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) ada sebanyak 53,3 persen merupakan anak muda. Ini peluang dan potensinya cukup besar saya kira, tapi dengan catatan penduduk Indonesia menjadi pelanggan produk lokal yang loyal yang mengedepankan produk dalam negeri,” jelas Lutfi.
Pengembangan Produk Lokal
Produk lokal perlu benar-benar menerapkan prinsip berkelanjutan agar dapat bersaing tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga untuk menjamah pasar global di berbagai kawasan di dunia.
“Sustainability (berkelanjutan) yang terkait lingkungan telah menjadi indikator pasar secara global. Kalau tidak menjadi perhatian kita, bisa saja produk kita bagus tapi tidak diminati oleh pasar,” kata Ketua Program Pengembangan Bisnis Lestari, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Nelson Pomalingo dalam rilis di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Senin (31/5/2021).
Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) adalah asosiasi pemerintah kabupaten yang bertujuan mewujudkan target nasional untuk pembangunan berkelanjutan, salah satunya lewat pengembangan produk lokal yang ramah lingkungan dan ramah sosial.
Menurutnya, bicara soal produk ramah lingkungan, produk lokal sudah pasti lebih ramah lingkungan daripada produk impor, karena jalur distribusinya pendek, tidak menghasilkan terlalu banyak emisi karbon yang berpotensi menyebabkan krisis iklim.
Ia mencontohkan bahwa produk kecantikan dan perawatan kulit yang sedang digemari oleh konsumen di sejumlah negara Asia adalah produk yang mengandung bahan alami dan diproduksi secara berkelanjutan.
Berdasarkan temuan Lingkar Temu Kabupaten Lestari, pada 2020 di China permintaan akan produk perawatan kulit berbahan alami atau produk organik terbilang tinggi dan konsumen di Korea Selatan memilih produk berkelanjutan, tidak membahayakan, dan tidak membunuh hewan dalam proses pembuatannya.
Sementara itu, konsumen Jepang lebih memilih produk berkualitas tinggi dan berteknologi canggih. Kesadaran mereka akan kesehatan dan keberlanjutan meningkatkan pertumbuhan produk kecantikan alami dan organik.
Nelson yang juga menjabat sebagai Bupati Gorontalo itu menguraikan, karena berbasis potensi alam, berarti lingkungan yang menghasilkan itu harus dijaga, kualitas tanah dan air harus optimal. “Jika tidak, kualitas produk akan menurun,” ujarnya.
Terkait produk lokal, sebelumnya Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah membuat regulasi yang mengatur pasar digital, sehingga produk lokal memiliki peluang yang sama besar, mengingat laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut 93 persen pasar digital diisi oleh produk impor.
“Itu kan artinya produk lokal kita hanya 7 persen saja. Ini harus menjadi perhatian bersama, karena UKM kita bisa tergerus kalau kondisi ini tidak diperbaiki,” kata La Nyalla.
Ketua DPD itu menilai perkembangan pasar digital Indonesia sebenarnya sangat besar. Sayangnya, peran produk lokal masih sangat kecil sehingga perlu digenjot agar bisa tumbuh lebih besar.
“Pemerintah harus mampu mengatur mekanisme pasar digital agar Indonesia tidak hanya menjadi market, tetapi juga menjadi produsen yang dapat mendominasi pasar,” sebutnya.
Untuk itu, La Nyalla meminta Kementerian Perdagangan membuat berbagai inisiatif agar produk lokal bisa semakin meningkat di pasar digital. Selain regulasi yang baik, pendampingan kepada kelompok usaha kecil juga diharapkan dilakukan semaksimal mungkin. [wip]