(IslamToday ID) – Perlawanan 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) terus berlanjut. Pada Rabu (2/6/2021) lalu, mereka mendaftarkan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pegawai yang diwakili oleh sembilan orang sebagai pemohon ini mengajukan uji materi atas pasal 69 B ayat 1 dan 69 C UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mengatur alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sembilan pemohon dimaksud yakni Rasamala Aritonang, Andre Dedy Nainggolan, Hotman Tambunan, Novariza, Faisal, Benydictus Siumlala Martin, Harun Al Rasyid, Lakso Anindito, dan Tri Artining Putri.
“Kita menguji pasal 69 B ayat 1 dan (pasal) 69 C (UU KPK) terhadap UUD pasal 1, pasal 28D ayat 1, 2, 3. Kami berpikir bahwa penggunaan TWK untuk alih status pegawai KPK bertentangan dengan pasal 1, pasal 28D ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945,” kata Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Pembelajaran Anti-Korupsi KPK, Hotman Tambunan, usai mendaftarkan gugatan di MK seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Uji materi ini diajukan tepat sehari setelah Ketua KPK, Firli Bahuri melantik 1.271 pegawai yang dinyatakan memenuhi syarat setelah lulus TWK. Sedangkan 75 pegawai yang disebut tak memenuhi syarat tak dilantik.
Keputusan terbaru, sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan itu dicap “merah” dan tak bisa lagi bergabung dengan KPK. Sedangkan 24 lainnya masih bisa menjadi ASN dengan dilakukan pembinaan terlebih dahulu.
Namun, hingga hari ini belum ada keputusan resmi dari pimpinan KPK terkait nasib 51 pegawai yang “merah” dan 24 pegawai yang masih bisa dibina tersebut.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) No 652, 75 pegawai tersebut diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya ke atasan masing-masing. Mereka yang tidak diangkat ASN hanya akan bekerja di KPK hingga 1 November 2021.
Sejalan dengan itu, gelombang perlawanan atas kesewenang-wenangan pimpinan KPK terus dilakukan. Sebelumnya, 75 pegawai sudah membawa permasalahan TWK dan SK 652 ke Dewan Pengawas KPK, Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyatakan keputusan 75 pegawai KPK membawa persoalan ke komisi-komisi independen termasuk juga MK merupakan langkah yang tepat.
Sebab, berkaca dari kejadian sebelumnya, MK dalam pertimbangan putusan perkara nomor: 70/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh sedikit pun merugikan hak pegawai.
“Karena ini berdasarkan dari pertimbangan, mestinya ini (uji materi) dikabulkan. Ketika teman-teman pegawai KPK maju ke MK sebenarnya memperkuat, karena sebenarnya yang paling dirugikan kan pegawai KPK,” ujar Boyamin, Kamis (3/6/2021).
“Sehingga, legal standing yang paling kuat itu mestinya pegawai KPK tersebut yang maju ke MK. Ini sangat pas,” sambungnya.
Boyamin sudah lebih dulu mengajukan uji materi terkait polemik TWK ini. Ia juga menguji ketentuan pasal 69 B ayat 1 dan pasal 69 C UU KPK. Ia berharap MK dapat memutus bahwa nantinya 75 pegawai KPK juga dapat menjadi ASN.
Harapan yang sama juga ia gantungkan kepada Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan yang dalam rekomendasinya nanti bisa mengakomodasi kepentingan 75 pegawai KPK.
“Kalau Dewan Pengawas KPK kepercayaan saya 50 persen, tampaknya Dewan Pengawas merestui proses TWK. Buktinya ikut rapat dan pelantikan ASN hadir,” tambahnya.
Di sisi lain, ia juga menaruh harapan kepada Presiden Jokowi agar dapat menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengangkatan 75 pegawai KPK menjadi ASN.
“Harapannya presiden memerintahkan BKN dan Kemenpan-RB untuk memberikan rekomendasi ke KPK untuk mengangkat 75 orang itu. Pak Presiden membuat Keppres untuk mengangkat mereka jadi ASN,” imbuhnya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman melihat peluang besar 75 pegawai KPK bisa menjadi ASN ada di tangan Jokowi.
“Semua sadar peluang melalui jalur-jalur (hukum) tersebut kecil, tetapi semangat perlawanannya sangat besar. Peluang besar justru ada di tangan presiden,” kata Zaenur melalui pesan tertulis.
Ia meminta Jokowi memerintahkan Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna H Laoly, dan Kepala LAN Adi Suryanto agar bisa duduk bersama lagi dengan pimpinan KPK.
Ia berujar proses alih status pegawai KPK menjadi ASN harus terus dilanjutkan sebagaimana perintah UU KPK. “Semua pihak masih memiliki waktu untuk menyelamatkan KPK,” ucapnya.
Perlu Dukungan Publik
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengatakan langkah 75 pegawai KPK yang melawan harus terus mendapat dukungan publik.
Ia menilai cara-cara yang ditempuh puluhan pegawai komisi antirasuah tersebut sudah tepat karena sesuai pilihan hukum yang disediakan peraturan perundang-undangan.
“Walaupun banyak orang menyangsikan bahwa itu akan memenangkan secara hukum apa yang sudah diyakini benar oleh pegawai KPK dan publik luas karena bisa saja ada masalah di peradilan dan dominasi para koruptor yang menguasai seluruh sendi-sendi ketatanegaraan, tetapi pilihan itu tetap penting,” ucap Feri.
“Tentu saja, sekali lagi ini tetap membutuhkan dukungan publik,” lanjutnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti memprediksi gugatan para pegawai KPK yang tak lulus TWK bakal dikabulkan oleh hakim MK.
Menurutnya, para pegawai itu memiliki dalil dan posisi hukum yang kuat terkait pengajuan gugatan atas UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK. “Harusnya dikabulkan karena ini kuat sekali. Argumentasi dari pemohon ini kuat sekali. Jadi pemohon ini punya kekuatan di legal standing,” kata Dwi, Senin (7/6/2021).
Dwi menilai pasal 69B dan 69C dalam UU KPK No 19/2019 bermasalah, sebab tak memberikan ketidakpastian. Menurutnya, kedua pasal itu tak memenuhi fungsi peralihan pegawai yang mestinya memberi kepastian hukum.
Adapun, bunyi pasal 69B ayat 1 yang dimaksud berbunyi sebagai berikut.
“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku, dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dwi mengkritik penggunaan kata “dapat” dalam pasal tersebut, yang menurutnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Begitu pula di pasal berikutnya, yakni 69C. Dua pasal itu diketahui menjadi landasan pelaksanaan asesmen dan TWK terhadap pegawai sebelum diangkat menjadi ASN.
Dengan penggunaan kata “dapat”, kata Dwi, pelaksana UU dalam hal ini KPK dinilai sah jika melakukan ataupun tidak melakukan asesmen atau TWK terhadap pegawai. Sehingga, katanya, hal itu menimbulkan ketidakpastian.
“Kalau kata ‘dapat’ berarti bisa diangkat. Bisa tidak diangkat. Nah, penggunaan kata ‘dapat’ inilah yang kemudian menimbulkan masalah, yaitu dia memberikan ketidakpastian,” katanya.
Dwi setuju dengan gugatan para pemohon yang menilai pasal itu bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Dua di antaranya pasal 1 dan 3 tentang prinsip negara hukum. Dua pasal itu mendefinisikan beberapa asas dalam prinsip negara hukum, di antaranya asas kepastian.
Menurutnya, asas kepastian mengandung dua unsur, yakni ketepatan dan proporsionalitas. Dengan kata “dapat”, katanya, maka pasal 69B dan 69C dalam UU KPK No 19/2019 tidak memenuhi asas kepastian dalam prinsip negara hukum tersebut.
“Dengan menggunakan kata ‘dapat’ maka dia dapat ditafsirkan bisa dilakukan bisa tidak dilakukan. Berarti dia nggak klir,” katanya.
Selain itu dalil hukum yang kuat, Dwi menilai para pemohon juga memiliki legal standing yang kokoh. Para pemohon yang juga merupakan pegawai yang dinonaktifkan, menurut Dwi, adalah kasus konkret alias faktual. Mereka adalah pihak yang telah dirugikan hak konstitusionalnya.
Oleh sebab itu, menurut Dwi, secara materiil dan kedudukan hukum, mestinya sulit untuk menolak gugatan para pemohon terkait TWK KPK. Kecauli, katanya, MK dalam perkara ini bermain sebagai aktor politik. “Kita akan melihat bagaimana MK dalam situasi seperti ini, dia akan bermain dalam sistem politik,” katanya. [wip]