IslamToday ID– Eks Sekertaris Kementrian BUMN, Muhammad Said Didu menilai Pemerintah sedang kalap. Pasalnya pemerintah berencana menaikan pajak yang ditanggung rakyat. Bahkan pemerintah berencana menaikan pajak PPN menjadi 12 persen.
“Saya ingin menggambarkan sedikit bahwa apa sih penyebabnya sehingga nafsu sekali mengejar pajak,”ujar Said Didu dilansir melalui Youtube MSD, Selasa, 8 Juni 2021.
Menurutnya, kekalapan ini terjadi karena pemerintah tengah berada tekanan belanja untuk kebetuhan infrastruktur.Said didu khawatir dalam komdisi terdesak ini pemerintah akan menerbitkan Perppu lagi untuk menaikan ambang batas utang.
“Presiden Jokowi dengan pemerintah kalau ada maunya bikin Perppu .Perppu itu dua hari jadi di DPR , bisa saja undang-undang nomor 1 tahun 2020 diubah lagi bahwa utang dinaikkan lagi persyaratannya bukan dari 3 persen PDB” ucap Said Didu.
Diketahui, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dituliskan penganggaran dan pembiayaan defisit Indonesia diatas 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sampai Tahun Anggaran (TA) 2022.
Berkaca pada rencana pemerintah menaikan pajak, Said Didu memprediksikan bahwa beban utang akan semakin membengkak. Oleh karena itu, pemerintah menilai kenaikan pajak PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, sebagai jalan keluar menambal defisit APBN. Pasalnya, Indonesia tidak akan mendapatkan pinjaman utang lagi dari negara luar.
“Kelihatannya ingin mencari cara jalan pintas menggunakan pukat harimau. Pukat harimau itu pajak pertambahan nilai itu adalah pukat harimau, kita tahu beban utang sudah sangat besar,” ujarnya
Padahal, kenaikan PPN berdampak luas. Pertama, menyebabkan daya beli masyarakat turun. Kedua industri enggan menjual produknya dan dampak ketiga industri jadi berkurang keuntungannya. Hal ini membawa dampak pajak di industri akan berkurang dan pada akhirnya menyebabkan, daya saing dalam negeri menurun.
“Misalnya kalau beli kopi biji tidak kena pajak pada saat anda menjadikan kopi bubuk dan dijual maka kena pajak katanya 12 persen, setelah diseduh untuk diminum di warung yang ada pajaknya maka kena lagi 12 persen jadi 24 persen. “ imbuhnya
Bahkan menurutnya, tidak menutup kemungkinan para pelaku Industri akan mencari negara dengan pajak terendah untuk menghasilkan bahan baku atau barang jadi yang jadi yang siap dikirm kembali ke Indonesia.
“ Terbayang ya begini bubuk-bubuk kopi Indonesia dikirim ke Malaysia untuk diolah kemudian dimasukkan ke Indonesia kembali full karena menghindari pajak,”terangnya.
Penulis Kanzun