(IslamToday ID) – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani menilai masih ada perbedaan dalam pengajuan tuntutan pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada saat persidangan.
Perbedaan itu terutama untuk kasus yang melibatkan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Lebih khusus, imbuhnya, dalam perkara terkait kebebasan berekspresi dan hak berdemokrasi.
Menurut Arsul, Pedoman Jaksa Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum justru kian memperlihatkan disparitas tersebut.
“Saya lihat Pak Jaksa Agung, terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini (Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019) yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum,” katanya dalam rapat Komisi III DPR, di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Senin (14/6/2021).
Terhadap pihak yang berseberangan dengan pemerintah, ungkap Arsul, pelaku dituntut dengan hukuman maksimal 6 tahun. Sebagai contoh, dalam penanganan perkara yang melibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS), Syahganda Nainggolan, hingga Ratna Sarumpaet.
“Nah disparitas ini misalnya saya lihat yang sekarang sedang prosesnya berjalan, tentu karena ini yang paling ramai di ruang publik, misalnya dalam kasus Habib Rizieq Shihab, dalam kasus Syahganda Nainggolan, dan juga dulu dalam kasus Ratna Sarumpaet. Ini perkara dituntut maksimal 6 tahun,” jelas Arsul seperti dikutip dari Kompas.
Sedangkan, Arsul menyebutkan, untuk kasus yang melibatkan pihak yang tidak berseberangan dengan pemerintah, bisa mendapatkan hukuman di bawah tuntutan maksimal. Misalnya seperti perkara terhadap para petinggi kasus Sunda Empire.
Mereka hanya didakwa 4 tahun penjara. Padahal, Arsul menilai kasus-kasus tersebut didakwa dengan pasal yang sama.
“Coba kita lihat kalau posisi politiknya tidak berseberangan dengan pemerintah, katakanlah soal perkara petinggi Sunda Empire Nasri Banks, Ratna Ningrum, Ki Rangga Sasana itu tuntutannya 4 tahun,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum PPP ini menilai, Kejaksaan Agung sudah tidak murni dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Ia beranggapan, Kejaksaan Agung saat ini mulai menjadi alat kekuasaan untuk menegakkan hukum.
“Ini menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung tidak lagi murni jadi alat negara yang melakukan penegakan hukum, tapi juga jadi alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum,” tegasnya. [wip]