(IslamToday ID) – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap fakta bahwa terdapat penerima Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang tidak sesuai dengan kriteria. Nominalnya cukup fantastis yakni mencapai Rp 1 triliun.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, disebutkan bahwa ada penerima BPUM yang tidak sesuai kriteria sebanyak 418.947.
Dari angka tersebut, penerima yang tidak memenuhi kriteria meliputi Aparatur Sipil Negara (ASN), penerima bantuan yang sedang menerima kredit atau pinjaman bank lainnya, hingga orang yang sudah meninggal. Berikut rinciannya:
– 56 penerima BPUM berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri
– 2.413 penerima BPUM dengan NIK yang sama menerima bantuan lebih dari satu kali.
– 29.060 penerima BPUM bukan usaha mikro
– 144.802 penerima BPUM yang sedang menerima kredit atau pinjaman perbankan lainnya
– 25.912 penerima BPUM sedang menerima kredit atau pinjaman KUR
– 207.771 penerima memiliki NIK yang tidak sesuai dengan database Dukcapil
– 8.933 penerima sudah meninggal dunia.
Otoritas pemeriksa keuangan juga mengungkap ada penyaluran dana bergulir yang dilakukan oleh lembaga mitra sebesar Rp 84,62 miliar kepada 9.336 penerima yang tidak memenuhi kriteria.
Sementara itu, BPK menemukan adanya dana tambahan subsidi bunga atau margin Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada bank penyalur sebesar Rp 132,6 miliar belum disalurkan.
“Karena debitur telah melakukan pelunasan pinjaman dan bank penyalur beserta kuasa pengguna anggaran belum melakukan identifikasi debitur yang berhak atas dana tersebut,” tulis laporan IHPS Semester II seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (23/6/2021).
Selain itu, BPK mendapati realisasi belanja bantuan bagi pelaku BPUM belum atau terlambat disalurkan kepada penerima manfaat per 31 Oktober 2020 sebesar Rp 14,8 triliun.
BPK juga menemukan adanya pelanggaran ketentuan dalam program pelatihan Kartu Prakerja tahun anggaran 2020.
BPK mengungkapkan bahwa nilai yang dibayarkan kepada platform digital dan lembaga pelatihan tidak didasarkan atas pelatihan yang benar-benar diikuti oleh peserta Kartu Prakerja, yang berdampak pada pencapaian tujuan program tersebut.
“Yaitu terdapat pelatihan yang telah dibayarkan, namun pelatihan tersebut tidak diikuti oleh peserta atau status pelatihan tersebut belum selesai sampai dengan posisi 31 Desember 2020 sebesar Rp 125,93 miliar,” tulis IHPS II.
BPK juga menemukan bahwa program Kartu Prakerja di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian belum disalurkan kepada penerima manfaat sebesar Rp 6,83 triliun per 31 Desember 2020.
Hasil review Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kemenko Perekonomian atas usulan anggaran tambahan manajemen pelaksana program Kartu Prakerja, melalui Bendahara Umum Negara (BUN) untuk mempertimbangkan metode-metode alternatif pendaftaran dan pelatihan seperti diatur dalam Perpres No 76 Tahun 2020 berdasarkan pertimbangan.
“Agar penerima manfaat program Kartu Prakerja sesuai dengan kriteria yang diatur dan pemanfaatan teknologi informasi yang belum merata,” tulis IHPS II.
BPK juga meminta kepada Menteri Keuangan untuk melakukan evaluasi atas skema penyaluran dana insentif Kartu Prakerja.
Selain itu, BPK juga menghimbau kepada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk memerintahkan Ketua Komite Cipta Kerja agar meninjau kembali ketentuan Permenko Perekonomian No 11 Tahun 2020 mengenai pembayaran pelatihan, agar selaras dengan tujuan program dan efektivitas pengelolaan keuangan negara.
Airlangga juga diimbau BPK untuk memerintahkan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja agar memastikan nilai riil yang layak dibayarkan dengan memperhatikan biaya yang telah dikeluarkan oleh lembaga pelatihan dan platform digital untuk masing-masing pelatihan. [wip]