(IslamToday ID) – Pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini memberikan saran kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah utang dengan mendorong ekonomi melalui strategi ekspor, meningkatkan daya saing, dan penyesuaian struktural.
Namun, menurutnya, hal itu tidak mudah dilakukan karena adanya krisis pandemi Covid-19, dan kapasitas kepemimpinan saat ini yang tidak cekatan dalam penanganan pandemi, serta problem relasi politik yang rusak.
“Jadi masyarakat akan menerima konsekuensi utang yang berat di masa yang akan datang. Lebih komplikasi lagi karena ada akrobat politik yang dibiarkan, dianggap indah dan dimainkan terus, banyak oknum yang mendorong tiga periode,” ungkap Didik seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (24/6/2021).
Menurutnya, energi politik Indonesia saat ini habis karena banyaknya unsur politis dalam setiap kebijakan pemerintah, sehingga permasalahan ekonomi nasional tidak mendapatkan solusi yang baik.
“Energi politik habis untuk akrobat politik seperti ini, bukan untuk solusi kegentingan pandemi dan ekonomi. Akrobat politik presiden tiga periode tersebut jika dibiarkan semakin besar kekuatannya, akan menimbulkan resistensi dan bahkan benturan politik lebih berat,” ujar Didik.
Rektor Universitas Paramadina itu menambahkan, ujian terhadap syahwat politik itu memang berat.
“Politik rusak, ekonomi rusak, sehingga seorang Soekarno pun tidak mampu menahan kerusakan entropis tersebut, apalagi cuma pemimpin dengan kelas jauh di bawahnya,” ucap Didik.
Sikap Otoriter
Didik juga menyampaikan bahwa utang Indonesia yang menumpuk saat ini disebabkan karena mesin politik ekonomi di Indonesia telah cacat.
“Karena mesin politik ekonomi cacat, rusak, dan demokrasi sudah mengalami kemunduran serta menjadi otorioter. Maka kebijakan anggaran menjadi otoriter pula,” ucapnya.
Ia menambahkan sikap otoriter pemerintah akan mendatangkan para “pelobi” yang dekat dengan kekuasaan dapat dengan leluasa meningkatkan defisit dengan sengaja, kemudian melahirkan keputusan dengan mudah, sembrono dan salah kaprah, tanpa pertimbangan teknokratis dan rasional.
“Jadi kita mesti bersiap-siap menghadapi masalah berat dalam utang pemerintah yang meningkat pesat dua tahun terakhir ini. Krisis ekonomi yang lebih luas sangat bisa masuk lewat krisis APBN, yang sudah sulit untuk membayar utang di tahun-tahun mendatang,” kata Didik.
Menurutnya, gejala krisis ekonomi sudah mulai berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa menyebar ke sektor ekonomi lainnya.
“Investor mulai tidak percaya, luar negeri berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam vote of no convidence. Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa terjadi, krisis pandemi, krisis ekonomi, dan krisis sosial politik,” urainya.
Ia menambahkan, dalam setiap kebijakan pemerintah, parlemen seakan melempem dan cenderung menuruti kemauan pemerintah untuk melancarkan program yang banyak membebani rakyat.
“Parlemen sekarang sudah lebih rendah kapasitasnya dengan parlemen masa Orde Baru, yang dalam kondisi otoriter tetap memiliki kapasitas teknokratis. Tetapi parlemen sekarang tidak memilikinya,” tegasnya.
“Karena demokrasi sudah terganti otoriter, maka anggota-anggota DPR cuma pasif nurut, mau defisit dilebarkan dengan alasan pandemi, monggo. Hak budgetnya dipotong sehingga tidak punya wewenang menentukan APBN. Itu akar masalah, karena demokrasinya rontok maka politik ekonomi angggaran memakai kekuasaan politik minus kapasitas teknokratis, minus rasionalitas akal sehat,” pungkas Didik. [wip]