(IslamToday ID) – Dewan Pengawas (Dewas) KPK memutuskan dua penyidik dalam kasus bantuan sosial (bansos) Covid-19 bersalah telah melanggar kode etik. Terkait hal itu, ICW menilai putusan Dewas KPK itu kian membuktikan adanya kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, dari putusan ini publik dapat melihat kinerja Dewas KPK yang sering kali tebang pilih dalam menyidangkan perkara etik.
“Dewan Pengawas sangat kencang memproses pegawai KPK, namun enggan untuk menindaklanjuti pelanggaran etik pimpinan KPK,” ujar Kurnia seperti dikutip dari Tempo, Rabu (14/7/2021).
Di luar itu, katanya, penting untuk diketahui bersama bahwa pelapor etik dua penyidik KPK ke Dewas adalah pihak yang diduga kuat terlibat dalam perkara ini. Hal tersebut tergambar dalam forum rekonstruksi KPK yang secara jelas menyebutkan adanya dugaan aliran dana dan pemberian sepeda brompton kepada anggota DPR RI melalui Agustri Yogasmara.
“Pertanyaan lebih lanjut, apakah peristiwa itu sudah ditindaklanjuti oleh KPK? ICW meyakini belum dilakukan, atau mungkin lebih tepat tidak ingin diusut oleh KPK,” kata Kurnia.
ICW menyatakan, Dewas KPK seharusnya tidak memproses etik penyidik, tetapi menyidangkan pimpinan terkait kejanggalan penanganan perkara bansos Covid-19 ini.
Sebelumnya, Dewas KPK menyatakan dua penyidik kasus korupsi bansos Covid-19 telah melanggar kode etik. “Mengadili, menyatakan para terperiksa bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Ketua Majelis Harjono dalam sidang, Senin (12/7/2021).
Dua penyidik kasus bansos Covid-19 yang menjadi terperiksa dalam kasus ini adalah M Praswad Nugraha dan M Nur Prayoga. Mereka dianggap melanggar Peraturan Dewan Pengawas KPK No 2 Tahun 2020 pasal 6 ayat 2 huruf C.
Aturan itu berbunyi bertindak sewenang-wenang atau melakukan perundungan dan/atau pelecehan terhadap Insan Komisi atau pihak lain baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja.
Dewas KPK menjatuhkan hukuman kepada Praswad berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama 6 bulan. Sementara, Prayoga dihukum ringan berupa teguran tertulis 1 selama 3 bulan. Dewas menghukum lebih ringan Prayoga karena ia menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulanginya.
Sebelumnya, Praswad khawatir putusan Dewas KPK bakal berbuntut panjang. Ia khawatir kasus pelanggaran kode etik yang menimpanya akan berimbas terhadap vonis perkara ini yang sedang disidangkan di pengadilan.
“Bukan tidak mungkin putusan ini dijadikan alat oleh pengacara sebagai bukti di persidangan, terus terdakwa bansos jadinya bebas,” kata Praswad, Selasa (13/7/2021).
Dianggap Tidak Sah
Ia mengaku sudah menyampaikan kekhawatirannya itu kepada Dewas KPK saat sidang. Ia mengatakan bila penyidik bansos dinyatakan melanggar kode etik, bukan tidak mungkin proses penyidikan akan dianggap tidak sah karena melanggar hukum.
Skenario terburuknya adalah para terdakwa, mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara dkk akan divonis ringan hingga bebas. “Bisa saja nanti dinyatakan bahwa berkas perkara ini lemah, karena proses penyidikan dianggap melanggar kode etik,” kata Praswad.
Selain berisiko terhadap kasus yang sedang berjalan, putusan Dewas KPK dikhawatirkan juga akan berimbas pada pengembangan kasus bansos. Ia khawatir putusan itu akan digunakan oleh tersangka baru mengajukan gugatan praperadilan.
Praswad mengatakan lazimnya dugaan pelanggaran kode etik di KPK diusut setelah perkara utamanya memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu dilakukan supaya dugaan pelanggaran kode etik tidak mengganggu pengusutan kasus korupsi.
Berbeda misalnya, bila pelanggaran kode etik itu termasuk pidana, seperti pembunuhan, pemerasan dan penyuapan. Bila tindakan pegawai KPK masuk ranah pidana, maka tak perlu menunggu perkara utamanya inkrah. “Jangan sampai proses penyidikan dan penuntutan terganggu karena penyidiknya diperiksa,” kata Praswad.
Di luar itu, ia menganggap tindakannya dan koleganya sesama penyidik M Nur Prayoga sesuai dengan aturan. Ia mengatakan tak pernah melakukan kekerasan fisik atau menganiaya saksi, Agustri Yogasmara.
Ia mengatakan pernyataan keras diucapkannya karena Agustri Yogasmara tidak kooperatif dalam pemeriksaan. Menurutnya, intonasi tinggi dan perkataan itu diucapkan sebagai bagian dari teknik penyidikan.
Sayangnya, katanya, Dewas KPK melepaskan pernyataannya itu dari konteks kejadian. Sehingga, seolah pernyataannya itu merupakan perundungan dan pelecehan terhadap saksi. “Situasi sebenarnya tidak dihitung sama sekali oleh mereka,” ujar Praswad. [wip]