(IslamToday ID) – Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim terkait pengadaan laptop dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) senilai Rp 17,42 triliun untuk sekolah mendapat sorotan tajam.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menyebut ada banyak PR yang harus diperhatikan Nadiem terkait kebijakan tersebut, mengingat dana pengadaan barang itu cukup besar.
“Mendikbud-Ristek itu kalau ada masalah solusinya atau kebijakannya sering tidak sesuai dengan masalah yang ada, kebijakan ini salah satu contohnya,” kata Totok seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (31/7/2021).
Ia menilai pengadaan alat TIK ke sekolah-sekolah untuk mendukung program digitalisasi sekolah tidak bisa efektif di seluruh daerah. Sebabnya, masalah pada sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak hanya pada ketersediaan alat teknologi, tapi juga kemampuan guru membuat bahan ajar.
Totok menjelaskan idealnya guru mampu membuat bahan ajar yang sesuai dengan kelas atau jenjang pendidikan siswa menggunakan teknologi. Namun, ia menilai kualitas mayoritas guru di Indonesia baru pada level pengguna, bukan kreator bahan ajar.
“Idealnya memang kalau sudah digital, gurunya sudah piawai menggunakan teknologi dan sudah pada level memproduksi bahan ajar sendiri. Tidak hanya ambil dari internet dengan materi masih bahasa Inggris, enggak disesuaikan. Mayoritas guru kita di level bawah, hanya pengguna saja, belum sampai pada level kreator,” jelas Totok.
Dengan demikian, ia menilai pemberian laptop untuk sekolah bisa tidak produktif, dan Kemendikbud-Ristek seharusnya memprioritaskan pelatihan guru agar bisa membuat bahan ajar sendiri.
Selain itu, Totok juga menekankan bahwa tak semua daerah dapat lebih produktif belajar menggunakan alat TIK, terutama di wilayah luar Jawa-Bali yang masih kesulitan akses internet dan listrik yang memadai.
“Maka dari itu, tugasnya berat. Kalau dia (Nadiem) bisa memberikan bantuan pada anak di Jawa, Bali, dan Sumatera, tidak boleh timpang dengan wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, apalagi di daerah timur, NTT, Papua,” katanya.
“Bagaimana memeratakan pelayanan kepada anak didik di seluruh Indonesia. Karena itu setiap kebijakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi wilayah, tidak bisa one size for all,” sambungnya. Lebih lanjut, menurut Totok, Kemendikbud-Ristek sebaiknya kembali mengkaji program pengadaan alat TIK sekolah, dan memetakan kebutuhan belajar siswa dan sekolah di setiap daerah.
“Pertama bisa petakan kebutuhan siswa di setiap daerah, apakah butuh laptop, apakah butuh jaringan internet, atau butuh listrik stabil. Setelah pemetaan, Kemendikbud-Ristek bisa buat program digitalisasi per provinsi atau pulau karena pastinya kebutuhannya berbeda-beda,” kata Totok.
Nadiem juga diminta menyiapkan support system berupa pelayanan servis perangkat TIK, terutama di daerah di luar pulau Jawa-Bali. “Supaya ketika rusak misalnya, alat tersebut bisa segera diperbaiki,” ujarnya.
Sebelumnya, Kemendikbud-Ristek mengadakan program digitalisasi sekolah berupa pengadaan perangkat TIK senilai Rp 17,42 triliun untuk sekolah yang memiliki jaringan internet. Bantuan yang diberikan berupa laptop, access point, konektor, layar proyektor, speaker aktif, hingga internet router.
Sementara untuk sekolah yang berada di area blank spot atau wilayah yang belum terakses listrik dan internet, Kemendikbud-Ristek akan memberi upaya pendampingan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). [wip]