(IslamToday ID) – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengklaim pihaknya telah menerima sejumlah aspirasi masyarakat dan daerah tentang pelaksanaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Menurutnya, sebagian besar aspirasi masyarakat dan daerah menghendaki perlunya penataan sistem ketatanegaran Indonesia, khususnya sistem manajemen pembangunan nasional yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, terintegrasi, dan berkesinambungan.
“Agar orientasi pembangunan nasional lebih fokus pada upaya pencapaian tujuan negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Ia menyebut, berbagai pandangan masyarakat menyatakan bahwa visi yang sama dalam rencana pembangunan nasional dan daerah baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang diperlukan, agar orientasi pembangunan nasional lebih fokus pada upaya pencapaian tujuan negara.
“Atas tindak lanjut dari rekomendasi MPR periode 2009-2014, dan MPR periode 2014-2019, hasil kajian MPR periode 2019-2024 menyatakan bahwa perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bersifat filosofis dan arahan dalam pembangunan nasional, untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.
Ia menilai, keberadaan PPHN yang bersifat filosofis menjadi penting untuk memastikan potret wajah Indonesia masa depan, 50-100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi.
“PPHN yang bersifat arahan dipastikan tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional, baik dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),” kata Bamsoet.
Ia menambahkan, PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis.
Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat elektoral.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan mengkritik rencana Ketua MPR Bambang Soesatyo, DPD La Nyalla Mattalitti, dan Presiden Jokowi yang menyinggung soal amendemen UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR.
Menurutnya, perubahan UUD 1945 untuk menambah kewenangan MPR menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bukanlah keinginan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. “Amendemen konstitusi di tengah pandemi bukan yang diinginkan rakyat,” kata Irwan seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ia menyatakan hal yang dibutuhkan rakyat saat ini ialah makan, vaksin, dan pekerjaan. Irwan meminta tidak ada pihak yang berupaya menguatkan kekuasaan di tengah kesengsaraan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19.
Menurutnya, seluruh energi seharusnya difokuskan pada upaya penguatan kesejahteraan masyarakat saat ini. Lebih jauh, Irwan menyatakan pidato Ketua MPR dan Ketua DPD di Sidang Tahunan MPR mengecewakan.
Menurutnya, pidato dua pemimpin lembaga negara tersebut memperlihatkan MPR, DPR, dan DPD seperti juru bicara Jokowi.
“Pidato Ketua MPR RI & Ketua DPD RI sangat mengecewakan. Pidato keduanya lebih nampak menjadikan lembaga negara yaitu MPR, DPR, dan DPD ini menjadi mirip juru bicara Istana (Kepresidenan) dibanding juru bicara rakyat,” katanya.
Irwan mengaku kecewa Ketua MPR dan Ketua DPD tidak berani jujur menyampaikan kondisi riil rakyat Indonesia saat ini di hadapan Jokowi. Padahal, Ketua MPR dan Ketua DPD seharusnya jujur menyampaikan ketidaksiapan dan kegagalan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19.
“Sebagai bangsa yang besar kita harusnya jujur atas ketidaksiapan kita dan kegagalan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, sehingga dampaknya terjadi di berbagai sektor atau multi sektor, bukan hanya krisis kesehatan, krisis ekonomi, tapi juga krisis kemanusiaan,” tutur Wasekjen Partai Demokrat itu.
Tak Kenal Perubahan Terbatas
Kabid Hubungan Legislatif DPP Nasdem Atang Irawan mengatakan jika perubahan amandemen dilakukan akan berpeluang membuka kotak pandora yang lain, karena setiap pasal saling terkait. Ia menegaskan bahwa UUD 1945 tidak mengenal perubahan terbatas.
“Kita harus melihat bahwa mekanisme perubahan UUD 1945 dalam Pasal 37 itu menggunakan pola usul perubahan pasal-pasal, berbeda dengan sebelumnya bisa mengubah seluruh dokumen konstitusi, misalnya UUD 1945 diubah oleh konstitusi RIS, kemudian UUD Sementara, lantas kembali ke UUD 1945,” kata Atang dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Detikcom.
“Artinya, memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya, tidak hanya satu pasal,” imbuhnya.
Atang, yang merupakan ahli hukum tata negara, mempertanyakan ketika nanti Pasal 3 disetujui dan diketok. Pertanyaannya, kepada siapa presiden melaporkan implementasi PPHN.
“Pertanyaan itu mungkin juga akan membuka kemungkinan adanya pasal lain. Atau yang kedua, bagaimana pelaporannya? Kepada siapa pelaporannya? Kepada MPR? Jika kepada MPR, maka apakah memakai skema Tatib MPR di sidang 16 Agustus, di sidang tahunan dengan melaporkan pertanggungjawaban kinerja?” tanya Atang.
Pertanyaan berikutnya, kalau kinerja presiden dan lembaga negara tidak sesuai dengan PPHN bagaimana? Atang menyebut tidak ada maknanya secara konstitusional jika kemudian tidak ada dampak terhadap presiden yang tidak menjalankan PPHN.
Berikutnya, ketika PPHN disahkan berarti MPR mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah PPHN. Maka pertanyaan berikutnya, berarti semua lembaga negara harus melaksanakannya. “Kalau tidak melaksanakan bagaimana?” tanya Atang lagi.
Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan. Di mana dalam Pasal 7A UUD 1945 mengatur syarat pemakzulan. Salah satunya apabila presiden dan atau wakil presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Sementara, syarat presiden itu diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Di Pasal 169 huruf (o) disebutkan tentang syarat presiden yang salah satunya adalah setia kepada Pancasila dan UUD 45. Bahkan dalam Pasal 429 UU Pemilu, presiden bersumpah bahwa akan memegang teguh UUD.
Kemudian, lanjut Atang, kalau presiden tidak menjalankan PPHN, sementara PPHN diatur dalam UUD 1945. Pertanyaannya kemudian, apakah presiden dapat dianggap tidak setia kepada UUD 1945? Makanya, kalau ruang Pasal 3 yang diamendemen dibuka bakal membuka ruang-ruang lain.
Mantan staf ahli Badan Kehormatan DPD RI ini melihat ada dua potensi yang bisa terjadi. Satu, Pasal 7A itu soal proses pemakzulan dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika putusan MK terbukti, baru ke MPR. MPR akan bersidang jika itu skema dari DPR. Nah, sekarang kalau tidak menjalankan Pasal 3 itu, akan ada kemungkinan skema MPR langsung ke MK.
Kedua, akibat dari Pasal 7A akan berakibat pada Pasal 24C ayat (2) di UUD 1945 yang berbicara soal kewajiban MK memutus pendapat DPR. Jika Pasal 3 disahkan, berarti akan ada potensi MK memutus pendapat MPR.
Kalau semua lembaga negara harus melaksanakan PPHN, berarti MPR itu kedudukannya superior lagi. Apakah tidak berakibat pada semangat memurnikan sistem presidensial? Padahal Pasal 1 ayat (2) UUD menyebutkan jika kedaulatan terletak pada rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
“Demikian halnya jika UU APBN tidak sesuai dengan PPHN, apakah akan berakibat pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkait dengan kewenangan MK? Apakah akan ada tambahan mengenai kewenangan MK menguji UU? Karena produknya UU, tentunya bukan kewenangan MPR menyatakan UU APBN bertentangan dengan UUD atau PPHN.
Demikian halnya dengan DPD RI akan mengusulkan pasal-pasal penguatan eksistensi DPD RI. Paling tidak terhadap Pasal 20 tentang mencantumkan DPD dalam hal pembahasan dan persetujuan bersama RUU. “Kalau sekarang kan tidak. Termasuk juga Pasal 22D terkait dengan kewenangan DPD,” tandas Atang. [wip]