(IslamToday ID) – Mantan penyidik KPK Novel Baswedan mengaku sudah melihat upaya pelemahan KPK sejak 2014, saat ia dan rekan-rekannya menangani kasus yang berkaitan dengan sumber daya alam.
“Isu sumber daya alam itu adalah isu korupsi yang paling besar mendapatkan uang yang dilakukan koruptor,” kata Novel dalam video yang diunggah di akun YouTube pribadi “Novel Baswedan”, Senin (17/10/2021).
Dampak dari korupsi semacam itu, katanya, begitu besar. Bahkan untuk memperbaikinya perlu waktu lama dan memakan banyak biaya.
Pelan-pelan, kemudian terjadi upaya pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis. Namun, karena masifnya dukungan publik langkah tersebut gagal. Masyarakat mendukung KPK lantaran muak dengan para koruptor.
Saat KPK mampu menjangkau kasus di level tertinggi, pelemahan itu semakin kentara. Isu pertama yang dianggap upaya melemahkan KPK yakni radikalisme di internal lembaga itu. “Apakah untuk isu itu, koruptor melakukan research terlebih dahulu, saya enggak ngerti,” ujar Novel.
“Pemilihan isu itu sangat efektif karena bisa memecah hubungan dan membuat persepsi di publik yang luar biasa,” tambahnya.
Mulanya, Novel Cs tak mau berhubungan dengan isu radikalisme lantaran hal tersebut tak sesuai fakta. Mengingat di KPK banyak pegawai dengan latar agama dan etnis yang berbeda.
“Bayangkan, ketika disebut itu radikal, Taliban atau apapun itu, seolah-olah hanya satu di KPK, hanya orang muslim saja yang bekerja. Padahal tidak begitu,” tegasnya.
Pekerjaan memberantas korupsi, katanya, memiliki risiko ancaman yang besar bahkan tak jarang mengalami serangan.
“Orang-orang yang menyerang adalah orang yang punya kekuasaan, punya kekayaan sumber daya ekonomi dan ketika serangan dilakukan dampaknya luar biasa,” lanjut Novel.
Novel pernah disiram dengan air keras saat menuju rumahnya usai melaksanakan salat Subuh di masjid pada 2017 lalu. Imbas insiden itu, mata kirinya tak bisa lagi melihat.
Dengan ancaman sebesar itu, Novel dan teman-temannya mencari perlindungan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. “Maka kami selalu memperbaiki ibadah, berkomunikasi dengan berdoa dan lain-lain dengan Allah SWT,” tuturnya.
Isu mengenai radikalisme kemudian pelan-pelan dijadikan bahan untuk menuding KPK melakukan penyadapan yang tidak sesuai prosedur. Padahal proses di lembaga itu hati-hati dan check-balance yang kuat.
Isu itu terus berjalan hingga 2019. Di tahun itu pula, ada perubahan Undang-Undang KPK. Banyak yang menilai perubahan itu sebagai titik nadir lembaga anti-korupsi di Indonesia.
Usai adanya undang-undang yang dinilai problematis, ada tahapan baru yang ditempuh yakni peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal, menurut Novel, untuk memberantas korupsi dengan efektif perlu independensi dan dijauhkan dari intervensi.
Lalu pada Januari 2020 ada beberapa kasus besar yang mesti ditangani. Namun mereka seperti dihalang-halangi. Desember 2020, KPK menangani beberapa kasus besar seperti kasus bantuan sosial (bansos), kasus di Kementerian Kelautan dan Perikanan, kasus mafia pajak, dan kasus lain.
“Itu kasus besar yang bisa diungkap dengan keadaan saat itu banyak kesulitan,” ujar Novel.
Kasus tersebut ditangani oleh mereka yang dituding radikal. “Saya yakin ya, di belakang itu ada oknum-oknum dan ada koruptor yang berkolaborasi,” katanya.
Novel merupakan salah satu dari 57 pegawai KPK yang dipecat usai tak lolos saat tes wawasan kebangsaan (TWK) akhir September lalu. Banyak pihak menilai tes TWK itu janggal dan salah satu upaya menyingkirkan orang-orang tertentu.
Ke 57 orang itu kini mengisi hari-harinya dengan berdagang hingga bertani. Sementara Novel membuat konten yang berhubungan dengan anti-korupsi di kanal YouTube pribadinya “Novel Baswedan”. [wip]