(IslamToday ID) – Pemerintah mengubah sejumlah kebijakan terkait aturan perjalanan selama Pandemi Covid-19 dalam sepekan terakhir. Perubahan itu di antaranya mencabut aturan sebelumnya yaitu syarat perjalanan kendaraan pribadi jarak 250 kilometer atau 4 jam yang diwajibkan memiliki hasil tes negatif PCR atau antigen.
Aturan lainnya yang juga diubah dalam waktu dekat ini adalah syarat penumpang pesawat di wilayah Jawa-Bali yang sebelumnya wajib PCR, kini boleh diganti antigen. Kewajiban PCR hanya bagi calon penumpang yang baru satu kali mendapatkan vaksin Covid-19. Hal itu belum termasuk penurunan harga tes PCR setelah mendapat banyak kritikan dari masyarakat.
Bagaimana akademisi melihat perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam waktu singkat tersebut?
Terkait perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut, Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Gabriel Lele menilai gonta-ganti kebijakan akan melahirkan isu kredibilitas pemerintah. Hal itu membuat sebagian masyarakat menilai pemerintah plin-plan dan tidak konsisten dalam membuat aturan.
“Sebenarnya pemerintahnya serius atau tidak, mikir atau tidak, punya arah kebijakan atau tidak? Sayangnya, ketika pemerintah mau responsif dengan cepat mengambil kebijakan, ia akan kehilangan kredibilitasnya karena dianggap plin-plan,” kata Gabriel seperti dikutip dari Kompas, Kamis (4/11/2021).
Di sisi lain, gonta-ganti aturan dalam waktu singkat juga dapat menimbulkan kebingungan masyarakat. Terutama bagi mereka yang bersinggungan dengan kebijakan tersebut sehari-hari.
Sebab dampak dari perubahan itu adalah kebijakan yang belum tersosialisasikan secara optimal kepada masyarakat hingga belum menjangkau seluruh kalangan. Banyak ditemukan, masyarakat yang bingung dan belum mengetahui jika aturan atau kebijakan yang ada ternyata sudah berubah.
Misalnya, aturan soal syarat perjalanan udara yang mengalami beberapa kali perubahan dalam waktu sepekan. “Itu risiko rentang kendali yang luas dengan teknologi diseminasi yang tidak merata. Pemerintah perlu lebih gencarkan ini,” ujar Gabriel.
“Pemerintah juga perlu siapkan mekanisme untuk mengelola lag (kesenjangan) informasi ini,” tambahnya.
Meskipun demikian, di sisi lain perubahan yang dilakukan pemerintah setelah mendapat banyak kritikan masyarakat bisa dipandang sebagai bentuk keterbukaan pembuat kebijakan terhadap kritik. Selain juga bentuk adaptasi dari perkembangan situasi yang terjadi.
Menurut Gabriel, situasi pandemi memang mensyaratkan kecepatan pemerintah dalam merespons segala perubahan. “Perubahan itu dapat ditafsir sebagai bentuk kalkulasi yang kurang matang, tapi juga dapat dilihat sebagai bentuk upaya pemerintah untuk terus melakukan penyesuaian, apalagi di tengah tekanan publik yang kuat,” katanya.
Pihaknya menyebut kondisi yang terjadi saat ini, yaitu seringnya aturan dan kebijakan mengalami penyesuaian, lebih baik daripada tidak sama sekali. “Lebih baik punya pemerintah yang responsif-adaptif walau kadang dinilai tidak konsisten, ketimbang pemerintah yang hanya sekadar mau jaga konsistensi, termasuk konsisten dalam kesalahannya dan tidak responsif terhadap perubahan,” ujarnya.
Ia mencontohkan harga PCR yang kini sudah diturunkan seiring perkembangan situasi pandemi di Tanah Air. “Jika mau konsisten, ketentuan dan harga PCR tidak usah diubah. Padahal banyak hal sudah berubah, seperti tingkat penyebaran yang menurun dan vaksinasi yang naik,” ujarnya. [wip]