(IslamToday ID) – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap transaksi keuangan, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian laporan hasil pemeriksaan kepada penyidik dan Lembaga Pengawas Pengatur (LPP).
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan terkait dengan kasus kegagalan investasi pada perusahaan perasuransian seperti PT Asabri.
“Khusus perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang pada PT Asabri (Persero) yang pada saat ini telah memasuki tahap penuntutan, modus ditemukan dalam pemeriksaan,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana seperti dikutip dari Law-Justice, Rabu (22/12/2021).
Sejumlah modus yang ditemukan di antaranya yakni penempatan dana pada saham-saham lapis tiga, instrumen utang seperti obligasi dan surat utang jangka menengah yang berkualitas rendah dan kegagalan bayar penerbit surat utang.
Kemudian reksadana dengan underlying saham dan surat utang yang berkualitas rendah, dibuat sebagai skema “penyelamat”, sehingga nilai investasi pada neraca pembukuan investor dapat dibuat seakan-akan sehat dengan mencantumkan nilai reksadana pada nilai perolehan.
“Pembelian saham-saham perusahaan yang tidak diperdagangkan di bursa efek dan investasi langsung berupa pembelian properti yang tidak disertai dengan pengalihan hak yang wajar,” ungkap Ivan.
Modus berikutnya yakni penempatan dana investasi untuk tujuan lain berupa pembelian aset properti di luar negeri, hingga para pejabat perusahaan asuransi melakukan keputusan investasi yang tidak baik disebabkan oleh ada aliran dana ataupun imbalan yang diterima, baik berupa uang maupun properti.
Perkara dugaan korupsi di PT Asabri sudah masuk ke dalam tahap penuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Salah satu terdakwa yang merupakan Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, telah dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Alasan jaksa menuntut hukuman mati karena perbuatan Heru di luar nalar kemanusiaan dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Diketahui, perbuatan Heru dan sejumlah terdakwa lain dalam perkara ini telah merugikan keuangan negara hingga Rp 22,7 triliun. Dari kerugian itu, Heru menikmati uang sejumlah Rp 12,6 triliun.
Modus berikutnya yakni penempatan dana investasi untuk tujuan lain berupa pembelian aset properti di luar negeri, hingga para pejabat perusahaan asuransi melakukan keputusan investasi yang tidak baik disebabkan oleh adanya aliran dana ataupun imbalan yang diterima, baik berupa uang maupun properti. [wip]