(IslamToday ID) – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai wacana penundaan pemilu dipandang sebagai rencana busuk hingga upaya melanggengkan kekuasaan oligarki. Menurutnya, wacana tersebut dilakukan secara terstruktur dan memiliki dampak yang besar.
“Pertama gini, rencana, agenda, atau program penundaan pemilu dan amandemen konstitusi untuk menambah periode itu adalah agenda rencana dan program busuk ya. Itu agenda yang jahat, dalam tanda kutip karena diberlakukan dengan cara terstruktur dan berdampak masif,” ujar Isnur, Sabtu (19/3/2022).
Ia menganggap wacana itu bagaikan rencana busuk yang dilakukan secara terang-terangan. Menurutnya, rencana busuk itu tak perlu lagi dicari “bangkainya” karena sudah berada di depan mata.
“Dalam konteks hak asasi manusia, saya perhatikan ini sangat serius dipahami oleh kita. Dan rencana atau agenda busuk ini bau bangkainya itu bukan sekadar bau yang kita masih ini berpikir, ini bau bangkai bukan ya atau ini bau bangkai di mana. Ini bangkainya sudah hadir di depan mata. Kebusukan kejahatan sudah hadir di depan mata dan ditampilkan secara terbuka,” katanya seperti dikutip dari DetikCom.
Selanjutnya, Isnur menyoroti soal jenjang pemerintah belakangan ini yang kerap membuat kebijakan yang tak sesuai dengan kemauan rakyat. Pemerintah dinilai hanya memfasilitasi kelompok-kelompok kekuasaan.
“Kita harus melihat cara atau track record pemerintah selama ini membuat kebijakan, jadi yang namanya perubahan Undang-Undang KPK, Minerba, Omnibus Law atau Undang-Undang IKN (Ibukota Negara), semua itu kebijakan dibuat dengan cara-cara yang benar-benar tertutup, tidak partisipatif, dan sangat jauh dari kehendak rakyat. Itu jelas memfasilitasi kehendak-kehendak oligarki, kehendak-kehendak sekelompok kekuasaan, sekelompok orang dan benar-benar ngasih karpet merah kepada kelompok tertentu,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, ahli tata negara Bivitri Susanti memandang wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan agenda yang melanggengkan kekuasaan oligarki.
“Saya kira sampai dengan detik ini semakin terbaca bahwa agenda besarnya adalah tentu saja untuk melanggengkan kekuasaan oligarki dan ini bisa kelihatan aktor-aktor yang muncul ke permukaan,” kata Bivitri.
Ia juga menanggapi soal klaim Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait 110 juta suara pengguna media sosial yang ingin Pemilu 2024 ditunda. Ia mengatakan seharusnya pemerintah tak bisa menentukan kebijakan berdasarkan angka.
“Saya tidak mau berdebat soal angka, karena negara tidak boleh dijalankan berdasarkan angka. Mau 110 juta, mau 230 juta, yang menginginkan supaya ada penundaan Pemilu 2024, kalau itu melanggar prinsip, ya harus ditolak,” katanya.
“Masa kita misalnya mau bilang ada 110 juta orang yang menginginkan supaya misalnya semua gedung tinggi di Jakarta harus diruntuhkan misalnya gitu, maka harus kita turuti begitu saja? Karena jumlahnya 230 juta, terpesona dengan angka, kan tidak. Ada prinsip-prinsipnya di situ, prinsip hukum, prinsip hak asasi manusia, dan juga pembatasan kekuasaan,” tambahnya.
Selanjutnya, Bivitri mengatakan pemerintah seharusnya menentukan kebijakan berdasarkan prinsip. Menurutnya, menentukan kebijakan negara tak boleh disamakan dengan mengurus warung kopi.
“Itu gagasan negara hukum yang kemudian dituangkan dalam gagasan konstitualisme yang tadi. Jadi jangan main-main angka, mainnya prinsip, ini negara. Ini bukan warung kopi, bukan korporasi, korporasi pun sekarang pendekatannya sudah mulai lebih partisipatif dan lain sebagainya, memperhatikan hak asasi manusia juga, terutama untuk pekerjanya, apalagi berbicara soal negara, tidak bisa mengatasnamakan klaim-klaim seperti itu,” ungkapnya. [wip]