(IslamToday ID) – Tindak pidana pencucian uang melalui cryptocurrency mengalami peningkatan pada 2021. Yakni mencapai 8,6 miliar dolar AS atau Rp 123,6 triliun atau naik 30 persen dari tahun sebelumnya.
Ini terungkap dari laporan Chainalysis yang merupakan perusahaan analisis Blockchain. Perusahaan juga mengestimasi total pencucian uang sejak 2017 lebih dari 33 miliar dolar AS. Dengan sebagian besar uang pindah ke bursa terpusat dari waktu ke waktu.
Jumlah tersebut berasal dari kejahatan crypto-native, seperti penjualan di pasar gelap atau serangan ransomware dan keuntungannya dalam kripto bukan mata uang fiat.
“Lebih sulit mengukur berapa banyak mata uang fiat yang berasal dari kejahatan offline, seperti perdagangan narkoba tradisional, diubah jadi cryptocurrency untuk dicuci uangnya. Namun kami tahu secara anekdot ini sedang terjadi,” ungkap perusahaan dalam laporan itu.
Chainalysis tidak terkejut dengan adanya peningkatan aktivitas di 2021 tersebut. Sebab selama tahun lalu terjadi pertumbuhan signifikan pada aktivitas kripto yang sah dan ilegal, dikutip dari Reuters, Kamis (27/1/2022).
Dari 8,6 miliar dolar AS tindakan pencucian uang, sekitar 17 persen digunakan untuk aplikasi keuangan terdesentralisasi. Aktivitas tersebut ternyata juga mengalami kenaikan dari 2020, yakni sebanyak 2 persen.
Kegiatan tersebut mengacu pada sektor yang memfasilitasi transaksi keuangan dalam mata uang kripto di luar bank tradisional.
Peningkatan substansial pada nilai yang diterima dari alamat terlarang juga terlihat pada kolam penambangan, bursa berisiko tinggi dan mixers.
Mixer biasanya menggabungkan dana kripto yang berpotensi dapat diidentifikasi atau tercemar dengan lainnya. Hal tersebut bertujuan menyembunyikan sumber asli uang tersebut.
Chainalysis juga menambahkan alamat dompet yang terkait dengan pencurian dikirim hanya di bawah setengah dari dana curian mereka atau lebih dari 750 juta dolar AS kripto kepada platform keuangan terdesentralisasi.
Sebagai informasi, pencucian uang adalah proses menyamarkan asal-usul uang yang diperoleh ilegal. Ini dilakukan dengan mengirimkannya pada bisnis yang sah.
Kepala Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan beberapa kasus investasi ilegal yang berhasil terkuak Bareskrim beberapa waktu lalu, turut membuka tabir modus tersangka dalam melakukan pencucian uang.
Dari beberapa modus yang dilakukan, di antaranya adalah penggunaan voucher untuk diterbitkan perusahaan exchanger.
Selain transfer dana secara langsung ke perusahaan robot trading, ada juga yang menyamarkan dana melalui kerja sama sponshorship.
Ia menjabarkan para tersangka yang terjaring sebagai afiliator juga menggunakan aset kripto sebagai sarana pembayaran maupun fee yang didapatkannya.
Hal ini dilakukan sebagai langkah mengelabui pihak berwajib, ketika melakukan dakwaan penghimpunan dan pembayaran secara ilegal.
“Berdasarkan hasil analisis PPATK, terdapat beragam modus yang digunakan oleh pelaku investasi ilegal dalam upaya pencucian uang yang diduga berasal dari hasil investasi bodong. Salah satunya melalui kripto,” katanya pada 7 April 2022 seperti dikutip dari Suara Merdeka.
Modus licik lain yang dilakukan oleh para tersangka, yakni mengelabui dengan memakai rekening palsu yang diatasnamakan orang lain.
Rekening orang lain/nominee digunakan untuk menampung dana yang didapatkannya dari hasil investasi ilegal. Bahkan praktik ini, disebutkan Ivan, transaksi dan nominalnya telah mencapai hingga triliunan rupiah.
“Dan menggunakan nominee atas nama saudara pelaku pada wallet exchanger untuk menyamarkan pembelian aset kripto,” terangnya.
Pelaku ini kemudian melakukan kegiatan flexing agar orang lain tertarik mengikuti apa yang diarahkan tersangka, dengan menggunakan perusahaan yang legal dan terdaftar.
“Selanjutnya, pelaku investasi ilegal biasanya mengiming-imingi barang mewah untuk menarik calon investor menggunakan perusahaan yang legal,” tambahnya.
Lebih lanjut, pihak PPATK memberikan imbauan kepada masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan penawaran-penawaran paket investasi yang disebarluaskan secara bebas. “Tidak ada investasi yang instan bisa menghasilkan untung berlimpah. Semuanya harus memiliki mekanisme yang jelas dan jangka waktu yang sesuai untuk memperoleh keberhasilan,” tutupnya.
Warning OJK
Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengimbau masyarakat untuk hati-hati terhadap produk keuangan digital seperti aset kripto. Selain tidak memiliki underlying asset, mata uang digital tersebut juga kerap digunakan untuk tindak pidana pencucian uang.
“Aset kripto ini rawan. Sekali lagi kami tekankan, bahwa ini (kripto) rawan dipergunakan untuk media pencucian uang,” ujar Wimboh dalam webinar Opportunities, Challenges, and Impacts of Utilizing New Technologies in Strengthening the AML/CFT Regime pada 23 Februari 2022.
Ia pun menceritakan kasus produk aset kripto yang digunakan sebagai tebusan. Kasus tersebut bermula saat sistem salah satu lembaga keuangan di Indonesia diretas oleh hacker. Gara-gara hal itu, operasional lembaga keuangan tersebut terganggu.
Sang hacker lalu meminta tebusan berupa aset kripto agar sistem operasional lembaga keuangan tersebut kembali berjalan normal. “Ada kasus salah satu lembaga keuangan di Indonesia yang di-hack sistemnya. Sistem itu dibuka kembali apabila dibayar sejumlah uang, dan pembayarannya minta dibayar kripto. Ini fakta, dan barangkali kejadian ini bukan hanya satu,” tukasnya.
Di sisi lain, Wimboh juga mengingatkan masyarakat untuk hati-hati terhadap investasi aset kripto. Karena tidak memiliki underlying asset, pergerakan harga produk aset digital tersebut sangat fluktuatif, sehingga masuk dalam kategori investasi dengan risiko tinggi.
“Sebelum menentukan pilihan-pilihan, masyarakat harus hati-hati dan harus memahami berbagai risikonya. Memang, keputusan masyarakat untuk membeli atau tidak membeli adalah keputusan masyarakat itu sendiri,” tutur Wimboh.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa produk-produk aset digital memanfaatkan area yang unregulated atau belum memiliki regulasi. Ia bilang, inovasi-inovasi baru dari produk aset digital merupakan kesempatan, sehingga ada juga masyarakat yang memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan pribadi.
“Ada yang menggunakan (produk aset digital) sebagai media untuk spekulasi. Artinya, kalau spekulasi pasti masyarakat-masyarakat yang tidak paham, masyarakat-masyarakat kecil yang menjadi korban. Akhirnya, terjadi dispute seperti beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini,” tutup Wimboh. [wip]