(IslamToday ID) – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga orang anak buah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi mafia pelabuhan Tanjung Emas Semarang 2016-2017. Ketiga pegawai Bea dan Cukai tersebut jadi tersangka penyalahgunaan fasilitas kawasan berikat.
“Jampidsus menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan fasilitas kawasan berikat pada Pelabuhan Tanjung Emas tahun 2016-2017,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana seperti dikutip dari IDX Channel, Kamis (19/5/2022).
Tiga tersangka tersebut adalah IP selaku Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Semarang, kemudian H selaku Kasie Intelijen Kanwil Bea dan Cukai Jawa Tengah.
“Tersangka ketiga MRP selaku Kasie Penindakan dan Penyidikan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Semarang dan juga selaku Penyidik PPNS Bea Cukai,” jelasnya.
Ketiga tersangka memiliki peran yang berbeda. Tersangka MRP berperan membantu kelengkapan dokumen-dokumen di Bea Cukai dan mengamankan kegiatan importasi, pengurusan dokumen, sub kontrak dan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat PT Hyoupseung Garment Indonesia.
“Sedangkan tersangka H selaku Kasie Intelijen Kanwil Bea dan Cukai Jawa Tengah yang menerima penyerahan uang tunai di Padang Golf Chandi Semarang dari PT Hyoupseung Garment Indonesia sebesar Rp 2 miliar,” jelasnya.
Ketiga tersangka langsung dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari terhitung sejak 7 hingga 26 April 2022.
Ketiganya disangkakan dengan pasal berlapis. Tersangka IP disangkakan Pasal 2 dan 3 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999.
Kemudian tersangka MRP dan H Pasal 2 dan 3 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 ayat (2) Jo ayat (1) huruf a, b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tak hanya di Tanjung Emas, dugaan praktik mafia juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjutak.
“Penyalahgunaan kewenangan dan penerimaan uang sehubungan dengan penyalahgunaan fasilitas kawasan berikat melalui pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas tahun 2015-2021 masuk dalam tahap penyidikan,” jelasnya, Selasa (1/3/2022).
Eben menjelaskan kasus bermula dari tahun 2016 dan 2017 dimana PT HGI mendapatkan fasilitas kawasan berikat di Semarang berupa impor bahan baku tekstil melalui Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang.
Namun diduga ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oknum pejabat Bea dan Cukai bekerja sama dengan swasta terkait dengan fasilitas kawasan berikat.
Dimana seharusnya barang impor bahan baku tekstil itu untuk pengolahan barang jadi di kawasan berikat milik PT HGI maupun perusahaan sub kontraktor, dibuat menjadi barang jadi lalu dijual dalam negeri maupun ekspor. Tapi malah dijual dalam negeri.
“PT HGI atas sepengetahuan dan kerja sama dengan Bea Cukai telah melakukan penjualan bahan baku impor tekstil di dalam negeri tanpa melalui pengolahan barang jadi di kawasan berikat milik PT HGI,” jelas Eben.
Sehingga mengakibatkan negara mengalami kerugian perekonomian akibat dari berkurangnya pendapatan devisa ekspor dan kebangkrutan sejumlah industri tekstil dan garmen di dalam negeri.
Siapa Mafia Pelabuhan Itu?
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menyatakan mafia pelabuhan berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Pelabuhan adalah ladang bisnis yang sangat mengiurkan dengan jumlah perputaran uang yang luar biasa besarnya. “Harta” sebagus itu sayang dilewatkan begitu saja, ia perlu dibagi rata di antara sesama pemain.
Bahkan, preman pun, mulai dari yang berdasi rapi hingga yang hanya bersendal jepit dan berbaju seadanya, dapat jatah atau bisa mengambil jatah dari bisnis kepelabuhanan nasional. Dari power sharing kemudian menjadi profit sharing. Ini seperti dua sisi mata uang koin. Sulit menentukan sejak bila keduanya muncul.
“Di pelabuhan ada fungsi kepemerintahan, yaitu quarantine, immigration, customs (QIC). Di sisi lain, ada badan usaha pelabuhan atau BUP. Pihak pertama sering disebut regulator sementara yang terakhir merupakan operator.”
Regulator dalam arti sempit sejatinya adalah aparat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang ada di pelabuhan – Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan. Sementara dalam arti luas adalah semua instansi pemerintah yang ada atau kewenangannya menyentuh pelabuhan. Termasuk QIC tadi.
“Sedikit soal urusan sentuh-menyentuh pelabuhan, setidaknya ada 13 instansi yang terlibat dalam proses ekspor-impor barang di pelabuhan. Fasilitas ini betul-betul highly regulated. Dualisme operator-regulator adalah fakta paling keras bagaimana power sharing itu berlangsung di pelabuhan.”
BUP dikerangkeng hanya sebagai operator dan diposisikan untuk mencari duit sebanyak-banyaknya. Mereka tidak boleh mengeluarkan hal-hal yang berbau regulasi. Contoh, untuk urusan tarif saja saja harus dilaporkan dulu ke regulator untuk dikeluarkan aturannya. Jika tidak, bisa panjang urusannya. Dari hubungan yang asimetris tadi lama-lama berkembang filosofi “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah”.
Dari sisi kehadiran fisik regulator di pelabuhan juga menyampaikan pesan bahwa mereka sangat powerful. Lihatlah kantor-kantor instansi QIC di pelabuhan, hampir semuanya berukuran besar. Apa way out bagi masalah mafia dan pungli yang membelit pelabuhan?
“Saya menyarankan agar dirobohkan dulu fondasi kekuasaan dan ekonomi yang ada di pelabuhan saat ini. Kalau tidak, jangan harap masalah tersebut akan tuntas hingga ke akarnya.” [wip]