(IslamToday ID) – Ahli hukum tata negara Refly Harun heran dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang menolak gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% yang dimohonkan DPR RI dan Partai Bulan Bintang (PBB).
“Saya tidak paham cara berpikir Mahkamah Konstitusi yang kekeh menolak presidential threshold,” ujar Refly di kanal YouTubenya, Sabtu (9/6/2022).
Terhitung sudah sebanyak 28 kali norma presidential threshold yang diatur di dalam Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu menjadi materi gugatan di MK.
Namun Refly melihat beberapa waktu lalu terdapat dissenting opinion atau pendapat yang berbeda disampaikan empat hakim konstitusi, di antaranya Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Manahan MP Sitompul.
Meki begitu, ia memandang dari dissenting opinion tersebut, ada persoalan di tubuh MK dalam memutus perkara yang seharusnya bisa dipertimbangkan lebih mendalam.
“Tapi kita berhak untuk mengkritik MK dan hakim MK. Kita tidak bicara tindakan pribadi, tapi bicara tindakan lembaga negara yang dibiayai oleh publik, harusnya defending people right, bukan defending oligarchy right, atau defending oligarch interest atau defending elite interest,” tutur Refly seperti dikutip dari RMOL.
Hal itulah yang membuatnya kecewa dengan MK. Jika cara berpikir MK demikian, katanya, maka gugatan penghapusan presidential threshold tidak akan pernah dikabulkan. “Kecuali semua hakim konstitusi diganti,” sambungnya.
Terlepas dari itu, Refly menilai pendapat MK yang menyatakan Pasal 222 UU No 7/2017 konstitusional bertentangan dengan realita yang terjadi di lapangan. Ia memberikan salah satu contohnya yakni soal peranan parpol dalam menyuguhkan calon pemimpin.
“Ini (putusan MK) bullshit (omong kosong). Parpol disuruh memunculkan pemimpin-pemimpin bangsa, tapi slot untuk mencalonkan presiden dibatasi. Enggak masuk akal,” cetusnya.
Maka dari itu, ia memandang pemberlakuan presidential threshold yang mensyaratkan parpol memenuhi minimal 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya menimbulkan dampak yang signifikan bagi pembangunan demokrasi di Indonesia.
“MK menyumbang bagi polarisasi di masyarakat dan terbelenggunya parpol. Salah satu fungsi parpol adalah kaderisasi politik, memunculkan pemimpin-pemimpin bangsa. Dari sini saja cara berpikir MK tidak konsisten,” pungkas Refly. [wip]