(IslamToday ID) – Sempat dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO), mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel) Mardani H Maming akhirnya datang ke KPK dengan ditemani pengacaranya Denny Indrayana pada Kamis (28/7/2022) siang.
Politisi PDIP itu dijerat kasus dugaan suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai bupati. Nilai suapnya diduga mencapai ratusan miliar. Bagaimana perjalanan kasus Bendahara Umum (Bendum) PBNU nonaktif ini?
KPK membeberkan konstruksi perkara yang menjerat Maming sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu.
“MM (Mardani Maming) yang menjabat Bupati Tanah Bumbu periode tahun 2010-2015 dan periode tahun 2016-2018, memiliki wewenang yang satu di antaranya memberikan persetujuan izin usaha pertambangan operasi dan produksi (IUP OP) di wilayah Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Pada tahun 2010, kata Alex, salah satu pihak swasta yaitu Henry Soetio selaku pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) bermaksud untuk memperoleh IUP OP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) seluas 370 hektare yang berlokasi di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.
“Agar proses pengajuan peralihan IUP OP bisa segera mendapatkan persetujuan MM, Henry Soetio diduga juga melakukan pendekatan dan meminta bantuan pada MM agar bisa memperlancar proses peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN dimaksud,” jelas Alex.
Menanggapi keinginan Henry Soetio tersebut, KPK menduga di awal tahun 2011, Maming mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu.
Dalam pertemuan tersebut, Maming diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio.
“Selanjutnya pada bulan Juni 2011, surat keputusan MM selaku bupati tentang IUP OP terkait peralihan dari PT BKPL ke PT PCN ditandatangani MM, di mana, dan diduga ada beberapa kelengkapan administrasi dokumen yang sengaja di-backdate (dibuat tanggal mundur) dan tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang,” kata Alex.
Ia menyebut peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN diduga melanggar ketentuan Pasal 93 Ayat (1) UU No 4 Tahun 2009 yakni pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.
“MM juga meminta Henry Soetio agar mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktivitas operasional pertambangan dan diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT ATU (Angsana Terminal Utama) yang adalah perusahaan milik MM,” ujarnya lagi.
KPK menduga PT ATU dan beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan adalah perusahaan fiktif yang sengaja dibentuk MM untuk mengolah dan melakukan usaha pertambangan hingga membangun pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu.
“Adapun perusahaan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM,” ujar Alex.
Berikutnya di tahun 2012, PT ATU mulai melaksanakan operasional usaha membangun pelabuhan dalam kurun waktu 2012-2014 dengan sumber uang seluruhnya dari Henry Soetio, di mana pemberiannya melalui permodalan dan pembiayaan operasional PT ATU.
“Diduga terjadi beberapa kali pemberian sejumlah uang dari Henry Soetio pada MM melalui perantaraan beberapa orang kepercayaannya, dan atau beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM yang kemudian dalam aktivitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerja sama underlying guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM tersebut,” ungkap Alex.
KPK menduga uang diterima MM dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp 104,3 miliar dalam kurun waktu 2014-2020. [wip]