(IslamToday ID) – Anggota DPR Fadli Zon mengkritik keras langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah proses pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid-19. Menurutnya, kebijakan tersebut akan memicu inflasi dan berimplikasi serius terhadap ekonomi yang baru menggeliat kembali.
“Kebijakan ini penuh dengan tanda tanya. Apalagi sejumlah narasi yang dibangun pemerintah untuk membenarkan kebijakan ini terbukti menyesatkan,” kata politisi Gerindra ini dikutip dari Sindo News, Kamis (8/9/2022).
Fadli mencatat ada beberapa narasi menyesatkan terkait dengan kebijakan harga BBM dan subsidi pemerintah di bidang energi. Pertama, Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah melontarkan pernyataan bahwa anggaran subsidi energi mencapai Rp 502 triliun dan jumlah itu sangat membebani APBN.
Pernyataan itu telah diprotes oleh banyak kalangan karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. “Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN kita hanya sebesar Rp 149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp 208,9 triliun,” kata Anggota Komisi I DPR ini.
Kedua, pemerintah selalu mengatakan kenaikan harga minyak telah menambah beban APBN. Padahal meskipun tergolong net oil importer, setiap kenaikan harga minyak dunia sebenarnya ikut meningkatkan pendapatan pemerintah.
Fadli mengutip Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611.000 barel per hari, maka dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp 33,15 triliun.
Perhitungan tersebut kurang lebih senapas dengan hasil kajian INDEF pada Maret 2022, yang menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) 1 dolar AS per barel akan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun, di mana pada sisi belanja negara akan memberi tambahan Rp 2,6 triliun. Karena itu dengan kenaikan harga ICP, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp 400 miliar.
“Jika mengacu pada skenario tersebut, selisih antara harga ICP sebagaimana diasumsikan APBN 2022, yaitu sebesar 63 dolar AS per barel, dengan harga riil ICP yang menyentuh rata-rata angka 100 dolar AS per barel, tidaklah otomatis menghasilkan kerugian. Selisih harga ICP sebesar 37 dolar AS per barel itu, menurut INDEF, justru telah menambah pendapatan negara sebesar Rp 111 triliun. Dari sisi belanja memang mengakibatkan bertambahnya belanja negara, tapi jumlahnya menurut INDEF hanya sebesar Rp 96,2 triliun. Sehingga, negara sebenarnya masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp 14,8 triliun,” ungkap Fadli.
Ketiga, APBN berfungsi sebagai shock absorber atau peredam guncangan. Jika Presiden dan Menteri Keuangan mengatakan subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi APBN, hal itu jelas menyalahi fungsi dari anggaran publik tersebut.
Keempat, pernyataan Menteri Keuangan bahwa subsidi energi bisa digunakan untuk membangun 227.000 sekolah, kata Fadli, adalah pernyataan menyesatkan. Bagi rakyat, hubungan antara subsidi energi dengan pembangunan sekolah bersifat komplementer, bukan substitutif. Rakyat sama-sama membutuhkan keduanya, bukan hanya salah satu.
Kelima, dari angka Rp 502 triliun yang disebut pemerintah sebagai subsidi energi, bagian terbesarnya adalah anggaran kompensasi energi. Mata anggaran ini yang tidak pernah diatur dalam undang-undang. “Anggaran kompensasi energi ini, menurut klaim Menteri Keuangan, diatur dalam Perpres No 98/2022 tentang Rincian APBN 2022. Namun, kita tidak akan menemukan kata kompensasi di dalam Perpres tersebut,” kata Fadli.
Penyebutan kata itu, menurut Fadli, muncul di Perpres No 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Aturan turunannya adalah Permenkeu No 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik.
“Ada satu anggaran besar, namun dasar aturannya hanya berbekal Perpres dan Permenkeu jelas harus dipertanyakan,” katanya.
Fadli mencatat dalam revisi APBN 2022, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, harga ICP telah direvisi menjadi 100 dolar AS per barel. Artinya, asumsinya telah dinaikkan 58,7 persen. Pada saat yang sama jumlah kuota solar juga telah dinaikkan menjadi 17,44 kiloliter (naik 15 persen), sementara kuota pertalite dinaikkan menjadi 29,7 juta kiloliter (naik 26 persen).
Dengan kenaikan tersebut, jumlah anggaran subsidi energi kemudian berubah menjadi Rp 208,9 triliun, atau naik Rp 74,9 triliun, atau setengah kali lipat dari jumlah sebelumnya yang hanya Rp 134 triliun. Anehnya, kata Fadli, jumlah anggaran kompensasi energi justru meroket tajam, karena telah naik dari sebelumnya Rp 18,5 triliun (APBN 2022) menjadi Rp 216,1 triliun, atau naik hampir 12 kali lipat (1.068 persen).
Kenaikan ini tidak proporsional dengan besaran kenaikan komponen-komponen anggaran sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. “Bagaimana bisa anggaran kompensasi energi naik hingga 12 kali lipat, sementara harga BBM hanya naik 58,7 persen, kuota solar hanya naik 15 persen, dan kuota pertalite hanya naik 26 persen?” tanya Fadli.
Kenaikan anggaran kompensasi energi yang tidak masuk akal tersebut, kata Fadli, yang telah melahirkan angka Rp 502,1 triliun sebagaimana yang disebut oleh Presiden dan Menteri Keuangan. “Dengan lima catatan tersebut, sangat aneh kalau pemerintah kemudian membuat narasi seolah subsidi energi telah membuat APBN jebol, lalu memaksakan kenaikan harga BBM di tengah turunnya harga minyak dunia,” pungkasnya. [wip]