(IslamToday ID) – Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun berpendapat majelis hakim yang memutuskan sebuah perkara dapat memberi pidana tambahan berupa tidak adanya remisi ataupun pembebasan bersyarat (PB) kepada seseorang yang akan dihukum.
Hal itu dapat dilakukan hakim terhadap kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime seperti kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. Pidana tambahan itu telah diatur dalam Pasal 10 KUHP.
“Kalau hakim menganggap tiga kejahatan luar biasa ini perlu diberikan tambahan pidana kan menurut Pasal 10 bisa (dapat) pidana tambahan,” kata Gayus dikutip dari Kompas, Rabu (14/9/2022).
Pasal 10 KUHP menyebutkan bahwa hukuman atau pidana terhadap seorang terdakwa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.
Sementara itu, pidana tambahan adalah pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Menurut Gayus, tidak adanya pemberian remisi atau pembebasan bersyarat dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) jika telah menjadi putusan hakim.
“Pidana tambahannya misalnya tidak menerima remisi, itu haknya hakim, nanti pemerintah (menindaklanjutinya) berdasarkan putusan itu, berdasarkan keputusan hakim,” ujarnya.
Kendati demikian, Gayus menekankan bahwa remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak bagi narapidana yang telah memenuhi persyaratan. Bahkan, mantan Hakim Agung Kamar Pidana Umum dan Militer 2011-2018 itu meyakini aturan remisi atau pembebasan bersyarat dalam UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan juga telah memenuhi asas keadilan.
“Publik harus tahu bahwa pemerintah itu hanya menjalankan isi undang-undang dimana isi undang-undang itu sudah ada keadilan di situ,” ucap Gayus.
Akan tetapi, ia memahami adanya keadilan sosial atau social justice yang juga bisa dipertimbangkan seorang hakim dalam memutus sebuah perkara. Namun, hal itu harus juga mempertimbangkan legal justice atau keadilan umum sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, kata Gayus, seorang hakim dapat memberikan pidana tambahan dengan pertimbangan asas-asas keadilan terhadap suatu perkara yang akan diputuskan. “Pidana tambahan ini semestinya boleh saja, kalau memang keadilan masyarakat perlu diperhatikan,” ucap Gayus.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 24 narapidana kasus korupsi menghirup udara bebas pada 6 September. Beberapa narapidana yang bebas antara lain mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana dan eks jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Kemudian, eks Menteri Agama Suryadharma Ali, eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dan yang paling baru adalah mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Puluhan narapidana tersebut mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) ataupun cuti menjelang bebas (CMB).
Mereka dianggap telah memenuhi syarat administratif dan substantif seperti berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan menunjukkan penurunan tingkat risiko. Para narapidana itu juga telah menjalani masa 2/3 dari masa hukuman di mana minimal kurungan tersebut paling sedikit 9 bulan. Persyaratan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. [wip]