(IslamToday ID) – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menghapus lima pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tertanggal 9 November 2022. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej mengatakan pasal-pasal itu dihapus setelah mendapatkan masukan dari masyarakat.
“Satu adalah soal advokat curang, dua praktik dokter dan dokter gigi curang. Ketiga, penggelandangan. Empat, unggas dan ternak, dan lima adalah tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup,” kata Eddy ditemui di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Berdasarkan draf RKUHP yang dikutip dari Kompas, pasal yang dihilangkan dari draf versi 6 Juli 2022 adalah Pasal 277 tentang unggas ternak yang berjalan ke lahan yang telah ditaburi benih. Kemudian, Pasal 278 soal ancaman pidana denda atas hewan ternak tersebut.
Lalu, Pasal 344 dan Pasal 345 tentang tindak pidana lingkungan hidup. Terakhir, Pasal 429 soal orang yang bergelandangan di tempat umum dan mengganggu ketertiban. “Jadi dari 632 menjadi 627 pasal,” ucapnya.
Setelah menyerahkan draf terbaru pada Komisi III DPR, Eddy optimis RKUHP dapat segera disahkan. Meskipun ada beberapa masukan dari anggota dewan, termasuk penambahan pasal terkait rekayasa kasus.
“Kami kira tidak ada masalah, dan minta untuk dipertegas mengenai beberapa penjelasan. Saya optimis, itu kalau ada sembilan item yang teman-teman dewan usulkan, saya kira sehari akan selesai,” tandasnya.
Adapun rapat pembahasan RKUHP bakal dilanjutkan 21 dan 22 November 2022. Selain menghapus lima pasal, di dalam draf terbaru RKUHP disebutkan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wakil presiden tak berlaku jika perbuatan itu dilakukan dalam unjuk rasa.
Dalam lampiran juga dijelaskan perubahan penjelasan Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP versi 9 November 2022. Bunyi Pasal 218 Ayat (2) dalam draf terbaru RKUHP adalah: “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Penjelasan terbaru tentang Pasal 218 Ayat (2) RKUHP adalah: “Yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wakil presiden. Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.”
Sedangkan menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (2) RKUHP versi 4 Juli 2022 adalah: “Yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan wakil presiden. Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut. Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan penggantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional. Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.”
Selain itu, ancaman hukuman penjara untuk tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden dalam draf terbaru RKUHP mengalami perubahan dengan pemangkasan dari 3,5 tahun menjadi 3 tahun.
Dalam lampiran perubahan itu dipaparkan isi Pasal 218 Ayat (1) RKUHP versi 4 Juli 2022. Pasal itu sebelumnya berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Sedangkan Pasal 218 RKUHP versi 9 November 2022 berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Menurut penjelasan Kemenkumham, perubahan itu dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap masukan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan hasil dialog publik. “Pidana penjara dikurangi dari 3 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun,” demikian penjelasan terkait perubahan hukuman itu menurut Kemenkumham.
“Ancaman pidana penjara Pasal 218 menjadi 3 tahun (empat kali lipat pidana pencemaran terhadap orang),” lanjut isi penjelasan Kemenkumham. [wip]