(IslamToday ID) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai menyelesaikan persoalan korupsi di tingkat desa lebih penting ketimbang wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun. Selain itu, pemerintah dan DPR seharusnya memberikan solusi atas persoalan korupsi pada pemerintahan desa ketimbang ikut larut dalam polemik wacana itu.
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, korupsi pada level desa menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015 sampai 2021. Ia mengatakan, tren penindakan korupsi yang diinventarisir ICW setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan korupsi terhadap dana desa.
“Sepanjang 7 tahun tersebut terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar,” kata Kurnia dikutip dari Kompas, Sabtu (28/1/2023).
Ia mengatakan, korupsi yang semakin meningkat di desa terjadi beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Menurut Kurnia, sejak 2015 sampai 2021 pemerintah menggelontorkan anggaran dana desa hingga Rp 400,1 triliun yang seharusnya digunakan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun sumber daya manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrem.
Kurnia mengatakan, korupsi terhadap dana desa berdampak langsung dan merugikan masyarakat desa. “Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa,” ujarnya.
Kurnia juga menyebut wacana masa jabatan kades menjadi 9 tahun patut ditolak karena sangat berbau politis dan tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat pedesaan. “Usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa,” katanya.
Kurnia mengatakan, pemerintahan desa pada saat ini masih dilingkupi sejumlah masalah. Mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi dana desa. Akibatnya, katanya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa sampai saat ini belum optimal.
“Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk di dalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa,” ujar Kurnia.
“Atas dasar itu, ICW mendesak agar pembentuk UU secara tegas menolak usulan ganjil ini dan menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa,” sambungnya.
Selain itu, kata Kurnia, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif. Caranya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan eksekutif, termasuk kades.
“Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut,” kata Kurnia.
Ia mengatakan, di dalam Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur satu periode masa jabatan kepala desa yaitu selama 6 tahun. Kepala desa juga dapat menjabat paling banyak 3 periode, baik secara berturut-turut ataupun tidak.
Konstruksi pembatasan masa jabatan demikian telah diteguhkan secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 42/PUU-XIX/2021. Menurut Kurnia, dibanding masa jabatan pejabat lain yang lahir dari mandat masyarakat, seperti kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif, masa jabatan kepala desa jauh lebih panjang.
“Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis,” pungkas Kurnia. [wip]