ITD NEWS— Ekonom Senior dan Pendiri Institute of Development for Economic and Finance (INDEF), Prof Didik J Rachbini, M.Sc., Ph.D mengungkapkan bahwa kebijakan utang era Presiden Jokowi saat ini cenderung serampangan dan tidak efisien. Naiknya jumlah utang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari era Presiden SBY.
“Tahun 2004 sampai 2014, dan saya ada di parlemen juga (DPR) pada waktu itu rasio utang itu dikritik terus turun. Rasio utangnya turun dari 43% turun sampai 24% berarti pada zaman itu utang ditekan betul supaya efisien, mengisi yang betul-betul perlu,” kata Prof. Didik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Anggaran DPR dengan Pakar, Kamis, 9 Februari 2023 yang disiarkan langsung di channel youtube Banggar DPR RI pada 9 Februari 2023.
“Periode sekarang, 2014 (sampai) 2023 rasio utang itu pertumbuhannya dari 24% terus 41% tapi pertumbuhan (ekonomi) sekarang lebih rendah daripada 2004-2014 pertumbuhan menjelang 6%, rasio utang 43% menuju 24%,” tegasnya.
Prof. Didik menambahkan jumlah utang yang terus naik membuat rasio utang terus bergerak mendekati 40%. Utang Indonesia pada Desember 2022 lalu mencapai Rp 7.733 triliun dengan rasio utang RI banding PDB 39,57%.
“Sekarang utang diperbanyak terus sampai 40% (rasio utang ke PDB), pertumbuhannya di bawah 5% kan berarti utang yang kita bikin tidak efisien,” ucap Prof. Didik
Ia mencontohkan salah satu tindakan gegabah dalam hal utang yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR selama pandemi Covid-19. Salah satunya kebijakan penarikan utang dalam jumlah yang fantastis yang mencapai Rp 1.500 triliun.
“Lihat keputusan yang diambil dengan alasan krisis, Perppu dan seterusnya mengambil keputusan (utang) Rp 1.250 triliun tetapi realisasinya Rp 1.500 triliun. Inilah utang yang terbesar dilakukan diketok palu di ruang ini (Banggar DPR),” ujar Prof. Didik.
Penarikan utang dalam jumlah yang sangat besar dengan mengatasnamakan krisis dan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi itu membuat utang yang ditarik pemerintah terus diangka Rp 1.000 triliun lebih. Hal ini jika dibiarkan begitu saja akan membuat pemerintah terjebak dalam utang yang terus diatas Rp 1.000 triliun.
“Sehingga penarikan utang selanjutnya akan tetap di atas Rp 1.000 triliun, bapak-ibu sekalian akan terus terjebak dipenarikan utang Rp 1.000 triliun setiap tahun,” tutur Prof. Didik.
Selain serampangan dalam hal utang pemerintah juga dinilai gagal dalam menyusun rencana APBN 2022. Salah satunya berkaitan dengan realisasi defisit yang selisihnya mencapai Rp 300 triliun.
“(Belum lagi realisasi defisit APBN tahun 2022) defisitnya 86,8 tapi realisasinya 46,4. Sebuah planning, perencanaan rencana APBN dimana defisitnya itu bedanya Rp 300 triliun, rencana apa namanya?,” tegas Prof. Didik. (Kukuh)