ITD NEWS— Tindakan provokatif Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangeran (AP) Hasanudin yang mengancam akan membunuh warga Muhammadiyah hanya karena perbedaan penetapan Idul Fitri tahun 1444 H mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan. Aparat penegak hukum diiharapkan tidak melihatnya sebagai kasus yang sepele dan harus segera dilakukan tindakan tegas.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengingatkan kepada aparat untuk tidak melakukan pembiaran terhadap ujaran provokatif AP Hasanudin. Jika tindakan tersebut dibiarkan maka akan memicu terjadinya ‘normalisasi’ kebencian dan normalisasi pluralisme represif.
“Respons secara presisi sejumlah laporan yang akan dilayangkan oleh beberapa pihak. Pembiaran tindakan seperti yang dilakukan oleh A.P Hasanuddin akan mendorong terjadinya normalisasi kebencian,” ungkap Halili dilansir dari liputan6com, Selasa 25 April 2023.
Ismail menegaskan bahwa pernyataan AP Hasanudin bukanlah bentuk kebebasan berpendapat bukan pula kebebasan seorang peneliti. Pernyataan ancaman pembunuhan tersebut telah memenuhi unsur pidana dari sisi penghasutan, ujaran kebencian hingga memicu terjadinya kegaduhan.
“Pernyataan Hasanuddin bukanlah bentuk kebebasan berpendapat bukan pula kebebasan bagi seorang peneliti,” kata Halili.
“Perbuatan Hasanuddin telah memenuhi unsur pidana, baik dari sisi tindakan penghasutan, ujaran kebencian, maupun dampak perbuatannya yang menimbulkan kegaduhan,” tegasnya.
Sementara itu Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel memberikan analisisnya terhadap polemik yang muncul dari pernyataan AP Hasanudin. Ia mengingatkan kembali dengan sejumlah peristiwa teror yang terjadi di luar negeri.
“Viral, seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ancam bunuh warga Muhammadiyah. Mari menarik pelajaran dari situasi-situasi serupa di mancanegara,” ujar Reza dilansir dari jpnncom, Selasa (25/4/2023).
Reza yang merupakan anggota dari Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan, POLTEKIP memberikan contoh dua pembunuhan liar yang terjadi di luar negeri yang berawal dari pesan di media sosial.
“Sebelum menembak 19 murid dan 2 guru pada Mei 2022, Salvador Ramos mengirim pesan di akun Facebook-nya; ‘Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD’,” tutur Reza mencontohkan.
Selain kasus penembakan yang dilakukan oleh Salvador Ramos di Uvalde, Texas Amerika Serikat, kasus lainnya ialah penembakan yang dilakukan oleh Travis McMichael pada tahun 2020. Keduanya meninggalkan pesan di media sosial digital sebelum melakukan aksi kejinya.
“Tidak sebatas pembunuhan, Travis dikenai pasal kejahatan dengan latar kebencian (hate crime),” tegas Reza.
Reza mengungkapkan jika seandainya dalam kasus tersebut pihak kepolisian di AS tidak menganggap sepele pasti tragedi penembakan yang merenggut banyak nyawa tersebut tidak terjadi. Ia juga mengingatkan bagaimana media sosial mempengaruhi terjadinya pembunuhan.
Ia menegaskan bagaimana pernyataan AP Hasanudin sangat tendensius pada satu kelompok dengan latar identitas tertentu. Hal ini merupakan indikasi adanya hate crime, kejahatan yang menyasar korban tertentu.
“Yakni, lewat stigma buruk terhadap individu maupun kelompok target, melegitimasi kekerasan, serta merekrut calon-calon pelaku,” ujar Reza.
“Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime,” tegasnya. (kukuh)