(IslamToday ID) – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengusulkan penurunan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) ke depan sehingga membuka peluang kandidat calon presiden (Capres) lebih banyak.
“Ke depan sebenarnya harus ada perbaikan (presidential threshold), 20 persen harus diturunkan lagi biar nanti pasangan calon lebih banyak. Memang kalau terlalu banyak itu kan repot juga. Akan tetapi jangan terlalu terbatas juga,” kata Haedar usai peresmian SM Tower and Convention, Yogyakarta, Sabtu (24/6/2023).
Menurutnya, di negara demokrasi idealnya pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak cukup dua atau tiga pasangan. Ia berharap ke depan setidaknya bisa muncul enam sampai tujuh pasangan calon.
“Demokrasi jangan terlalu ingin nanti mutlak besar menangnya, justru dalam proses demokrasi yang cair seperti itu, dan terbuka banyak calon itu proses check and balances itu terbuka,” kata Haedar.
Dengan pilihan Capres yang lebih banyak, menurutnya, ruang publik makin tersalurkan sehingga tidak terjadi apatisme politik. Selain itu, Haedar juga meminta seluruh peserta pemilu maupun masyarakat agar dewasa dalam berpolitik dengan menganggap Capres sebagai anak bangsa, bukan sekadar milik golongan tertentu.
“Dari mana calon presiden datangnya, dia harus ditempatkan sebagai anak bangsa. Dia harus ditempatkan sebagai milik bangsa. Ketika jadi, siapa pun dia harus menjadi milik bangsa, milik Indonesia, dan jangan lagi menjadi milik satu partai, satu golongan, atau satu koalisi,” katanya.
Presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu menjadi salah satu pasal yang beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Terakhir, pada 28 Februari 2023 lalu, MK memutuskan menolak permohonan uji materi pengaturan presidential threshold yang termaktub dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Permohonan ini teregistrasi pada perkara No 4/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Herifuddin Daulay seorang guru honorer dari Riau. MK menegaskan pernah memutuskan perkara yang sama atau serupa pada putusan sebelumnya.
“Isu konstitusional yang dimohonkan dalam permohonan a quo pada intinya tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar hakim konstitusi Saldi Isra membacakan pendapat mahkamah dalam sidang pembacaan putusan kala itu.
Saldi menyampaikan, norma pada pasal 222 itu telah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima. “Dari semua putusan tersebut, terdapat lima putusan yang amar putusannya menolak permohonan pemohon, sedangkan putusan-putusan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima,” ujarnya.
Mengacu pada putusan-putusan sebelumnya itu, MK tetap pada pendiriannya menyatakan presidential threshold konstitusional. “Merujuk pada semua putusan tersebut, pada intinya mahkamah berpendirian bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional,” tegas Saldi.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur persyaratan Capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya,” demikian bunyi pasal tersebut. [ant/wip]