(IslamToday ID) – Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan menilai rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun rawan menimbulkan penyimpangan.
Bahkan, menurutnya, potensi korupsi semakin terbuka lebar jika kepala desa diberi kekuasaan untuk kurun waktu yang lama. “Menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsilah,” kata Djohan dikutip dari Kompas, Kamis (6/7/2023).
Ia berpandangan rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Seharusnya, sebagai negara demokratis, masa jabatan para pemimpin termasuk di level daerah, dibatasi agar tak terlalu lama. Apalagi, saat ini Indonesia sudah memasuki era reformasi.
Namun, faktanya ketika mayoritas pemimpin seperti presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota masa jabatannya di kisaran 5 tahun, kepala desa yang lingkup kerjanya lebih sederhana justru dapat menjabat hingga 9 tahun.
“Kita 6 tahun masa jabatan katakan sudah melampaui, sekarang dibuat jadi 9 tahun. Itu lama berkuasa besar, potensi penyimpangannya juga besar,” ujar Djohan.
Situasi itu diperumit dengan minimnya kompetensi kepala desa dalam mengelola administrasi daerah. Hal ini sulit dihindari lantaran kepala desa merupakan jabatan politis yang ditentukan oleh rakyat.
Demikian pula dengan perangkat desa, umumnya adalah orang-orang yang sebelumnya turut mensukseskan kepala desa dalam pemilihan, tapi miskin pengetahuan pengelolaan pemerintahan.
“Jadi kompetensi kemampuan administratif boleh dikatakan lemah. Padahal ini menyangkut tata kelola. Jadi kekuasaan yang lama, 9 tahun, miskin kompetensi,” ucap Djohan.
Menurutnya, penambahan masa jabatan kepala desa tak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Setidaknya, langkah itu harus didahului dengan pembenahan di internal pemerintahan desa.
Misalnya, sebagai penyeimbang kepala desa, sekretaris desa (sekdes) dipilih dari kalangan profesional yang kompeten, yakni pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, jika sekdes dipilih dari orang dekat kades, kepala desa lebih berpotensi sewenang-wenang, utamanya dalam penggunaan anggaran.
Di sisi lain, sekdes tak bisa menolak perintah kades karena takut dicopot dari jabatan. “Jadi satu PNS menjaga administrasi desa dan administrasi keuangan desa, termasuk mengelola dana desa. Jadi tidak bisa seenaknya, ugal-ugalan kepala desa,” kata Djohan.
Hal lain yang harus dibenahi, lanjutnya, pengawasan terhadap kepala desa dan perangkatnya. Seharusnya, pengelolaan pemerintahan desa diawasi oleh inspektorat di pemerintah kecamatan dan kabupaten.
Namun, fungsi itu umumnya tak berjalan maksimal karena beban inspektorat yang begitu besar dalam mengawasi lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Sementara, Djohan menyebutkan, Badan Permusyawaratn Desa (BPD) yang mestinya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri.
“Jadi saran saya, kalau mau ngasih uang besar, masa jabatan panjang, perkuat piranti-piranti pemerintahan. Satu lagi juga harus ada civil society yang mengawasi sebagai watch dog,” tutur mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu. [wip]