(IslamToday ID)- Aksi damai people power di Solo pada Jum’at (7/7/2023) berisi sebuah harapan untuk melihat Indonesia lebih baik. Apalagi aksi tersebut dipimpin langsung oleh pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Mega Bintang, Mudrick M Sangidu.
Mega Bintang lahir pada tahun 1997/1998, sebagai simbol penanaman bibit dan benih persatuan kelompok nasionalis religius dan relegius nasionalis. Keberadaannya menjadi bagian dari perang psikologis untuk menjebol benteng pertahanan kekuasaan Suharto yang coba untuk direvitalisasi ke dalam ‘people power’.
Berikut analisis dari Pakar Geopolitik Strategis dan Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit dalam analisisnya mengungkapkan jika wacana people power menumbuhkan banyak harapan. Hal ini seperti mengenang kembali aksi revolusioner Mega Bintang, 26 tahun lalu menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru.
“Dalam wacana people power di Solo kemarin sebenarnya banyak harapan tumbuh dari berbagai komponen bangsa. Seturut munculnya kembali mega bintang. Artinya ada harapan untuk berkesinambungan,” ungkap Hendrajit dalam keterangannya kepada ITD NEWS pada Sabtu, 8 Juli 2023.
Hendrajit pada saat yang sama juga mengomentari tentang people power yang bergeser lokasinya dari rencana awal di Bundaran Gladag, Solo ke Gedung Umat Islam, Kartopuran, Solo. Perubahan lokasi merupakan kekalahan psikologis dari wacana people power.
“Menurut saya perubahan lokasi dari Gladak ke Kartopuran merupakan kekalahan psikologis bagi gerakan people power,” ujar Hendrajit.
“Kasus people power Solo, saya tak lihat adanya pematangan persiapan seperti itu,” jelasnya.
People Power Bukan Sekedar Aksi Turun Ke Jalan
Hendrajit menjelaskan jika wacana people power bukan hanya sekedar aksi unjukrasa ke jalan. Pemaknaan tersebut justru akan berorientasi pada upaya pendangkalan dan kontras dengan geopolitik Solo sebagai laboratorium politik.
“Solo itu harus dikenali kodrat geololitiknya pada dua segi. Dari segi kontemplasi Solo merupakan laborat politik. Sehingga di tahapan ini lebih fokus untuk olah isu dan perumusan agenda dengan mengacu pada sinkronisasi antara kerangka teoritis, kerangka analisis dan strategi pergerakan,” ucap Hendrajit.
Ia menuturkan Solo telah membuktikan bersatunya kelompok nasionalis religius dan religius nasionalis untuk menggoyang ‘benteng pertahanan’ Soeharto lewat Mega Bintang. Hal ini terlihat dengan dua kelompok tersebut dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputeri (PDI Perjuangan) dan Mudrick (PPP).
“Sejak ini (munculnya Mega Bintang) mitos bahwa kaum nasionalis dan Islam mustahil bersatu berhasil dipatahkan,” tutur Hendrajit.
Kemunculan Mega Bintang jika ditarik secara historis seperti melahirkan kembali gerakan Sarekat Dagang Islam (SDI). Kota Solo menjadi lokasi hadirnya sebuah organisai pergerakan kaum pribumi pertama dibawah pimpinan Haji Samanhudi.
Fakta-fakta historis di atas bukti jika Solo memiliki peranan untuk mengolah isu atau agenda. Dari SDI di Solo itulah lalu berkembang hingga berubah nama menjadi Central Sarekat Islam (CSI).
“Jadi tahapan Solo adalah mengolah isu jadi agenda. Bandung mengolah agenda jadi program. Nah di Jakarta barulah program diolah jadi rencana aksi,” kata Hendrajit.
Ia pun memberikan sejumlah catatan tentang wacana people power. Menurutnya ada dua kesalahan strategis dalam aksi damai tersebut.
“Pertama, ide dasar people power didangkalkan sebatas aksi turun ke jalan. Langsung rencana aksi,” ujar Hendrajit.
“Kedua, oleh sebab people power didangkalkan semata sebagai aksi turun ke jalan, people power sangat rawan untuk diframe sebagai aksi untuk memicu rusuh sosial, anarki, makar bahkan kudeta terselubung,” tandasnya. (KHS)