(IslamToday ID) – MUI menyambut baik terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Dengan terbitnya aturan ini, maka pengadilan di lingkungan MA, baik tingkat pertama maupun tingkat tinggi, dilarang mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
“Kami menyampaikan apresiasi sekaligus bersyukur kepada Allah SWT, Mahkamah Agung mengakomodir semua masukan tokoh agama resmi di Indonesia,” kata Wakil Sekjen Bidang Hukum dan HAM MUI Ikhsan Abdullah, Jumat (21/7/2023).
Menurutnya, sejak 24 November 2022, pasca putusan MK No 24/PUU-XX/2022 yang menolak uji materi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan karyawan swasta E Ramos Petege, MUI bersilaturahmi dengan MA. MUI mengusulkan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) MA yang terdiri dari pimpinan MA di bawah Ketua Kamar Pembinaan dan semua perwakilan Majelis Agama.
“Mengapa kami dari perwakilan Majelis Agama yang menjadi anggota Pokja, karena berkaitan dengan materi keabsahan perkawinan yang menjadi domain Majelis Agama,” kata Ikhsan dikutip dari Sindo News.
Ia menuturkan, umat Islam selama ini gelisah dan resah karena beberapa putusan pengadilan negeri di berbagai daerah mengabulkan permohonan penetapan pencatatan perkawinan antaramat beragama.
Terbaru, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan izin nikah beda agama yang diajukan oleh JEA dan SW. JEA beragama Kristen dan SW adalah seorang muslimah.
Ikhsan menegaskan, setelah terbitnya SEMA No 2 Tahun 2023 yang diundangkan sejak 17 Juli 2023, maka sudah tidak bisa pencatatan nikah beda agama. Karena jelas-jelas berhadapan dengan hukum Tuhan dan hukum positif di Indonesia.
“Sekali lagi, MUI menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada MA, semoga terus menjadi benteng keadilan bagi umat,” pungkas Ikhsan.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh. Ia mengapresiasi MA yang menerbitkan aturan tentang larangan pencatatan perkawinan beda agama.
“Penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antaragama yang selama ini bermain-main dan berusaha mengakali hukum. Aturan ini wajib ditaati semua pihak, terutama bagi hakim yang selama ini tidak paham atau pura-pura tidak paham terhadap hukum perkawinan,” kata Niam, Selasa (18/7/2023).
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menjelaskan, UU Perkawinan secara gamblang menyatakan perkawinan sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama. Menurutnya, pernikahan pada hakekatnya adalah peristiwa keagamaan dan negara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan, dengan pencatatan.
“Pencatatan perkawinan itu merupakan wilayah administratif sebagai bukti keabsahan perkawinan. Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan,” kata profesor bidang fikih ini.
Namun, menurut Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan, dengan dalih UU Administrasi Kependudukan memberi ruang. Padahal, kata Niam, Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selanjutnya, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam Islam, perkawinan beda agama itu terlarang.
“Jadi tidak ada celah untuk praktik perkawinan beda agama. Islam mengharamkan, dan UU melarang. SE ini menegaskan larangan tersebut untuk dijadikan panduan hakim. Karenanya pelaku, fasilitator, dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum,” pungkas Niam. [wip]