(IslamToday ID) – Tujuan kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) di tengah tingkat polusi udara yang memburuk di Jakarta bukan bermaksud menjaga masyarakat lebih sehat. Namun tujuan utamanya adalah untuk mengurangi emisi karbon dari kendaraan.
“WFH itu tujuannya bukan untuk menjaga dia lebih sehat. Tujuannya adalah supaya mengurangi emisi karbon dari kendaraan. Karena salah satu (penyumbang polusi) yang terbesar adalah emisi dari transportasi,” kata Budi dikutip dari Kompas, Sabtu (26/8/2023).
Ia lantas mengatakan, intervensi kesehatan yang paling berhasil adalah kesadaran masyarakat dalam melakukan pencegahan penyakit. Sehingga, ia belum mewajibkan penggunaan masker.
Ia mengungkapkan, masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab lebih atas kesehatannya masing-masing. Selain penggunaan masker, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan.
Langkah pertama, memantau indeks kualitas udara (air quality index/AQI) secara berkala. Jika berada pada kategori tidak sehat, sebisa mungkin hindari beraktivitas di luar rumah. Kalau harus menjalankan aktivitas di luar ruangan, masyarakat bisa memakai masker.
“Kalau lagi enggak sehat sebaiknya jangan ke luar. Preventifnya dari sisi kesehatan itu yang kita sarankan. Kalau sudah batuk-batuk, disarankan ke puskesmas atau rumah sakit,” ujar Budi Gunadi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak memiliki strategi khusus untuk mengatasi polusi udara. Menurutnya, strategi-strategi pencegahan polusi udara lebih banyak dilakukan di kementerian/lembaga lain, seperti Kementerian Perhubungan dan kementerian koordinator di atasnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves).
“Saya itu tugasnya di hilir. Kalau nanti sudah sakit, saya mesti beresin. Kalau untuk di hulu, saya pernah ikut sekali rapat dengan Pak Luhut. Tapi lebih banyak dia ngajak menteri perhubungan bagian transportasi, menteri energi, menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), karena sumbernya di sana,” kata Budi.
Sebagai informasi, polusi udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat. Demikian pula di kota lainnya seperti Tangerang Selatan, Mempawah di Kalimantan Barat, Serang (Banten), dan Banjar Baru (Kalimantan Selatan).
Kondisi ini dapat menimbulkan dampak kesehatan pada masyarakat. Badan kesehatan dunia atau WHO mencatat saat ini 90 persen penduduk dunia menghirup udara dengan kualitas udara yang kumuh. Menurut WHO, setiap tahun ada 7 juta kematian, dan 2 juta di antaranya di Asia Tenggara berhubungan dengan polusi udara di luar dan dalam ruangan.
Sebelumnya, Budi Gunadi juga mengungkapkan, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) naik mencapai 200.000 kasus di Jakarta. Angka tersebut lebih tinggi empat kali lipat dibandingkan pada masa pandemi Covid-19 yang mencapai 50.000 kasus. Menurutnya, peningkatan itu dipengaruhi dari memburuknya polusi udara di DKI Jakarta. [wip]