(IslamToday ID) – Pengamat sosial dan politik Ray Rangkuti mengatakan kepemimpinan Presiden Jokowi yang sudah berjalan sembilan tahun tergores oleh praktik dinasti politik. Disinyalir di tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jokowi membangun dinasti politik pada keluarganya.
Dinasti politik itu dimulai dari putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang menjabat sebagai Walikota Solo. Kemudian menantunya yakni Bobby Afif Nasution sebagai Walikota Medan, hingga putra bungsunya Kaesang Pangarep yang menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Menurut Ray, semua keluarganya mendapatkan peran penting untuk melanggengkan agenda dinasti politik. Selain itu, yang paling mengejutkan adalah keputusan MK yang mengubah undang-undang sehingga Gibran dapat maju mencalonkan diri menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Ray mengatakan kinerja Jokowi dalam sembilan tahun kepemimpinan cukup bagus, namun dalam setahun terakhir kinerjanya berputar arah.
“Begitu begitu ia (Jokowi) setahun jadi dirinya sendiri, dan tadi disebut Mas Ikrar (Ikrar Nusa Bakti) mau jadi raja, dia (Jokowi) melahirkan dinasti. Jadi kala dia jadi petugas partai dia membangun Indonesia dengan bagus. Kala dia jadi raja Nusantara, dia melahirkan dinasti,” ujar Ray dikutip dari YouTube Kanal Anak Bangsa, Selasa (21/11/2023).
Ia juga menyatakan secara tegas jika Jokowi sekarang sedang membangun kerajaan yakni dinasti politik. “Dan satu tahun ini, dia merasa dirinya kayaknya bukan lagi petugas partai. Oleh karena itu, dia membangun kerajaannya, namanya dinasti politik Jokowi,” ungkap Ray.
Ray kembali menjelaskan bahwa kini definisi dinasti maknanya sudah bergeser dan dianggap biasa-biasa saja oleh masyarakat. Padahal, definisi dinasti sudah pernah diatur pada UU No 8 Tahun 2015 ketika berlangsungnya pilkada. “Di UU No 8 Tahun 2015 itu yang menyebut dinasti politik haram hukumnya,” ujarnya.
Dalam konteks kekinian, definisi dinasti politik sudah satu tingkat ke atas, satu tingkat ke samping kiri dan kanan, dan satu tingkat ke bawah. “Ini artinya anak, ayah, ibu, saudara dan saudari plus juga dengan istri, itu yang disebut dengan kategori dinasti politik. Setidaknya menurut dari UU No 8 Tahun 2015 yang lalu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ray menjelaskan definisi tersebut masih belum cukup untuk menetapkan adanya praktik dinasti politik. Ia menambahkan syarat lain dalam mengkategorikan praktik tersebut. Yakni salah satu dari cabang keluarga tersebut sedang menjabat di jabatan yang bersifat elected official, seperti gubernur, anggota DPRD atau bupati. Sementara, syarat yang berikutnya yaitu mengincar jabatan-jabatan yang tergolong elected official.
“Oleh karena itu, Pak Jokowi dan yang dipraktikkannya sekarang ini, per definisi ini adalah contoh paling sempurna yang disebut dengan dinasti politik. Pertama yang maju adalah anaknya sendiri, satu tingkat ke bawah. Kedua, Presiden Jokowi masih menjabat sebagai presiden. Dan yang ketiga anaknya mengincar jabatan yang bersifat elected official yaitu calon wakil presiden,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa batasan dinasti politik itu bukan dari legal tetapi moral. Hal ini merujuk pada dampak dinasti politik yang akan melukai kepentingan bangsa, sehingga perlunya pelarangan praktik tersebut.
“Kalau ada pewarisan kekuasaan tidak melalui pemilu itu bukan lagi dinasti, namanya itu monarki. Kalau kekuasaan diwariskan melalui melalui pemilu itu namanya dinasti. Boleh enggak itu ya di Indonesia? Boleh secara legal, tapi bagus nggak bagi bangsa dan negara? Tidak bagus bagi bangsa dan negara ini,” pungkasnya. [res]