(IslamToday ID) – Ekonom senior Faisal Basri mengatakan ekonomi Indonesia telah jauh melenceng dari UUD 1945. Tak hanya itu, Indonesia juga terkesan memberikan banyak kemudahan bagi perusahaan asing untuk mengelola sumber daya alam khususnya China.
Salah satu contoh belum sesuainya pengelolaan ekonomi di Indonesia dengan UUD 1945, kata Faisal, adalah tidak adanya pajak yang dikenakan untuk para pengusaha batu bara yang mendapatkan durian runtuh.
“Tahun 2012 harga batu bara melonjak, jadi pada 2022 ekspor batu bara Indonesia dikuasai 12 pengusaha. Pendapat mereka dari ekspor 2022 sebesar Rp 1.000 triliun, padahal bumi air yang terkandung di dalamnya oleh negara dikelola untuk kemakmuran rakyat,” kata Faisal dikutip dari YouTube Bachtiar Nasir, Senin (29/1/2024).
“Kalau itu diterapkan, negara harus ikut campur untuk mengenakan pajak durian runtuh. Tapi di Indonesia tidak menerapkan pajak dunian runtuh,” lanjutnya.
Padahal di Amerika Serikat, Australia, negara Uni Eropa menerapkannya, bahkan di Mongolia menerapkan 70 persen. “Indonesia nol. Hasil ekspor Rp 1.000 triliun masuk kantong mereka,” ungkapnya.
Ada juga biji nikel yang diolah oleh semua perusahaan China yang semua keuntungannya lari ke China.
“Biji nikel nilainya 10 setelah diolah menjadi vero nikel jadi 40. 30 Ini untungnya. 100 persen pengusaha China, untungnya lari ke China. Kalau kita untung di Indonesia bayar pajak 22 persen. (Tapi karena semua keuntungan masuk ke China) Mereka tidak bayar pajak selama 20 tahun,” jelasnya.
Demikia pula dengan teknologi yang digunakan dari China. “Teknologi bayar paten. Jadi pembiayaan ongkos patennya 100 persen lari ke China,” ujar Faisal.
Tidak berhenti di situ, para perusahaan smelter juga ketika mengajukan pinjaman uang ke bank, katanya, uangnya berasal dari bank China. Maka tak mengherankan apabila bunga pinjaman juga akan 100 persen lari ke China.
“Lebih gila lagi harga biji nikelnya di Shanghai 80 dolar AS buat pengusaha China ditetapkan oleh pemerintah hanya 40 dolar AS,” ungkapnya.
Yang lebih gila lagi, kata Faisal, para pengusaha China ini juga boleh mendirikan pembangkit berbahan batu bara sendiri di Indonesia dengan menggunakan stampel PSN dengan harga yang lebih murah. Padahal pembangkit berbahan batu bara di negara China sendiri telah dilarang.
“Harganya (batu bara) bukan 350 tapi 70 per metrik tron jadi negara mensubsidi. Jadi negara mensubsidi 350-700. Subsidinya gila-gilaan. 400 Persen. PLN memang dapat tapi tidak banyak sedangkan mereka? Siapa mereka? Mereka bukan siapa-siapa,” tuturnya. [ran]