(IslamToday ID) – Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas meminta Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas untuk mengkaji kembali penggunaan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk layanan semua agama. Sebab kini KUA masih berada di bawah Dirjen Bimas Islam Kemenag yang mana direktorat yang mengurus bagian perislaman.
“Yang namanya Kantor Urusan Agama (KUA) itu posisinya ada di bawah Dirjen Bimas Islam. Bukan di bawah Dirjen Agama Kristen, Katolik, atau Hindu, Buddha,” kata Anwar, Selasa (27/2/2024).
“Karena kalau dilihat dari praktiknya selama ini, KUA itu memang hanya untuk umat Islam. Terutama untuk mengurusi masalah yang terkait dengan pernikahan,” sambungnya dikutip dari Sindo News.
Lebih lanjut, kata Anwar, KUA juga banyak menggunakan tanah wakaf sehingga penggunaannya diperuntukkan untuk umat Islam. Sehingga, ia mempertanyakan jika nantinya KUA digunakan untuk agama lain maka akan menimbulkan masalah.
“Saya dengar banyak dari kantor-kantor KUA tanahnya banyak menggunakan tanah wakaf, yang peruntukannya tentu sudah jelas yaitu untuk masalah-masalah yang terkait dengan umat Islam. Lalu bagaimana kalau dipakai untuk hal di luar itu, tentu akan menimbulkan masalah,” tuturnya.
Oleh karena itu, Anwar meminta agar Kemenag mengkaji hal tersebut terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah umat dan masyarakat.
“Untuk itu sebaiknya masalah ini dikaji betul terlebih dahulu dengan baik oleh Kemenag, agar tidak menimbulkan masalah dan kegaduhan di kalangan umat dan warga masyarakat di kemudian hari,” pungkasnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Ia menilai rencana Menag menjadikan KUA untuk semua agama perlu dikaji dengan saksama. Terutama melakukan komunikasi dengan berbagai pihak seperti organisasi agama hingga kementerian terkait.
“Rencana Kemenag menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan dan perceraian perlu dikaji dengan saksama. Kemenag sebaiknya melakukan hearing dengan mengundang berbagai pihak, khususnya stake holder utama, yaitu organisasi-organisasi agama dan kementerian terkait,” ujar Mu’ti.
Ia mengatakan perlunya kajian mendalam terkait kesiapan dan dampak yang ditimbulkan jika KUA menjadi tempat pernikahan bagi semua agama. “Perlu dilakukan kajian komprehensif terkait dengan kesiapan dan dampak yang ditimbulkan, mempertimbangkan dengan saksama, manfaat dan madlaratnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mu’ti menyebut gagasan integrasi pencatatan pernikahan dan perceraian memang sangat diperlukan. Terlebih dalam penertiban pernikahan yang tidak tercatat dalam administrasi seperti nikah siri dan pernikahan lainnya.
“Misalnya pernikahan di bawah tangan (siri) dan pernikahan agama. Dikotomi antara pernikahan agama dan negara tidak seharusnya dibiarkan terus terjadi. Selain menimbulkan masalah sosial, pernikahan agama juga menimbulkan masalah dikotomi hukum agama dan negara,” pungkasnya. [wip]