(IslamToday ID) – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur pidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran. Putusan No 78/PUU-XXI/2023 itu dibacakan langsung oleh Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang MK, Kamis (21/3/2024).
“Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Berita Negara Republik Indonesia No II No 9 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo dikutip dari Kompas, Jumat (22/3/2024).
Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan hukum terkait keputusan itu. MK berpendapat Pasal 14 dan Pasal 15 tersebut dapat memicu sifat norma pasal menjadi pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
Terlebih dalam perkembangan teknologi informasi yang memudahkan masyarakat mengakses informasi dan memperoleh dengan cara cepat dan mudah.
“Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakan sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1/1946 tersebut,” kata Arsul.
Ia mengatakan, jika dicermati ada ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Misalnya terkait kata “keonaran” yang juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara.
Oleh karena itu, Arsul menilai penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” kata Arsul.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya, MK menilai jika pasal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
Sehingga menjadi penyebabkan masyarakat tidak bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. [wip]