(IslamToday ID) – Deputi Tim Demokrasi dan Keadilan Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menyebut nepotisme adalah inti dari masalah yang terjadi dalam Pilpres 2024. Nepotisme itu melahirkan abuse of power yang terkoordinasi.
Atas dasar itulah maka dalam gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK), pihaknya mempersoalkan Jokowi dan juga KPU sebagai termohon. KPU dianggap bersalah karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka tanpa mengubah Peraturan KPU No 19.
“Itu sudah salah karena Peraturan KPU No 19 itu belum mengadopsi Putusan MK No 90 yang membolehkan seseorang yang usianya di bawah 40 tahun selama dia menjabat sebagai kepala daerah yang dihasilkan oleh proses pilkada bisa untuk menjadi capres atau cawapres. Itu belum diubah, baru diubah tanggal 3 November 2023. Jadi ketika pendaftaran dilakukan masih rezim 40 tahun,” kata Todung dikutip dari YouTube Abraham Samad Speak Up, Jumat (29/3/2024).
“Di sini persoalannya. Kalau diubahnya tanggal 3 November karena KPU bertemu dengan DPR tanggal 3 November. Ini sebetulnya yang salah penyelenggara pemilu, tetapi juga tidak bisa (lepas dari peran) Jokowi karena putusan nomor 90 itu jelas bahwa MK yang diketuai oleh pamannya Gibran (Anwar Usman) terlibat dalam hubungan yang nepotis,” bebernya.
Nepotisme itulah yang kata Todung melahirkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power untuk memenangkan paslon 02.
“Sayang anak boleh, tapi tidak dengan melanggar undang-undang, hukum, kebijakan, dan kepatutan. Ini yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita mewariskan apa untuk anak cucu kita ke depan kalau kita meninggalkan ini, mengesahkan ini. Ini bahaya,” ucapnya kecewa.
Ia lantas membandingkan pemilu tahun 1999 dan 2024. Menurutnya, pemilu 1999 lebih demokratis dan minim manipulasi.
“Manipulasinya sedikit sekali, intimidasinya sedikit sekali, sedikit politik uang atau serangan fajar, tapi apa yang kita lihat saat ini? Masif sekali. Masif, terstruktur, dan sistematis, ini yang belum pernah terjadi. Sebab setelah pemilu 1999 ada pemilu 2004, 2019, dan 2024. Pemilu 2004 oke karena saya tidak melihat SBY cawe-cawe seperti Pak Jokowi sekarang ini. Ini sangat luar biasa dan menjadi pendidikan politik yang sangat buruk bagi kita,” tegasnya. [ran]