ITD NEWS — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memberikan vonis bebas kepada dua polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Putusan tersebut dinilai sangat mengecewakan dan tidak adil bagi korban dan keluarganya.
Bebasnya dua terdakwa dalam kasus penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu pun menuai kecaman dari sejumlah LSM. Proses pengadilan atas tragedi yang merenggut 135 nyawa orang itu dianggap potret bagaiamana proses hukum di Indonesia belum mampu menciptakan keadilan.
“Menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban,” kata,Direktur Imparsial, Gufron Mabruri dilansir dari cnnindonesia, Jum’at 17 Maret 2023.
Gufron menegaskan vonis Majelis Hakim PN Surabaya yang diketuai oleh Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya itu dinilai bertentangan dengan logika hukum. Pasalnya dua orang anggota polisi tersebut dinilai bertanggungjawab pada keamanan dan keselamatan pertandingan sepakbola antara Arema FC dan Persebaya.
“Sangat bertentangan dengan logika hukum publik padahal keduanya merupakan penanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan pada pertandingan tersebut,” ujar Gufron.
Imparsial juga menyoroti kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung dinilai belum maksimal dalam mengungkap fakta-fakta tragedi Kanjuruhan di persidangan.
“Kejaksaan Agung RI harus melakukan evaluasi terhadap kinerja kejaksaan yang gagal menghadirkan fakta-fakta Tragedi Kanjuruhan di dalam persidangan,” ucap Peneliti Imparsial, Husein Ahmad.
Selain Kejagung, Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung juga mendapat sorotan. Mereka dinilai turut bertanggungjawab pada dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para hakim dalam kasus Tragedi Kanjuruhan.
“Kami mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik,” ungkap Kepala Advokasi Hak Asasi Manusia KontraS, Andi Muhammad Rezaldy.
KontraS juga memberikan kritik pedas kepada kinerja PN Surabaya. Keseriusan para hakim dalam mengusut kasus ini dinilai hanya setengah hati, akibatnya gagal mengungkap kebenaran dan terjadilah proses peradilan yang sesat.
“Proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process),” tegas Andi. Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai vonis PN Surabaya telah gagal memberikan rasa keadilan kepada para korban. Negara dinilai gagal menjamin keadilan kepada para korban kekerasan oknum aparat.
“Gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat. Menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia,” tutur Usman.