(IslamToday.id) — Seorang perwira muda dan ayah mertuanya dengan menghadap Sultan Iskandar Muda. Amarah di wajah perwira Aceh itu belum reda. Didampingi ayah mertuanya, ia melaporkan aib yang ditorehkan putera mahkota Aceh Darusalam, Meurah Pupok.
Dengan mengharap keadilan baginda Sultan, Perwira muda itu menyampaikan, selepas pulang melatih angkatan perang kesultanan Aceh, ia memergoki Putera mahkota Kesultanan Aceh tengah berzina dengan istrinya. Putera mahkota bergegas melarikan dirisetelah tindakan bejatnya diketahui. Ia pun meminta keadilan baginda Sultan atas aib yang telah ditorehkan keluarga kerajaan tersebut.
Bagai disambar petir, kabar itu menggemparkan Istana Kesultanan Aceh Darusalam. Namun demikian Sultan Iskandar Muda, tidak bersikap emosional, ia bertindak dengan penuh kebijaksanaan. Dengan segera, Sultan Iskandar muda memerintahkan Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman) untuk menyelidiki dan melakukan pemeriksaan atas kasus yang menyeret nama Putera Mahkota itu.
Tidak menunggu lama, kasus tersebut berhasil diungkap dalam waktu yang singkat oleh para pejabat yang bertugas dalam bidang kepolisian dan kehakiman. Dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan, Meurah Pupok mengaku bersalah telah melakukan perzinahan. Tidak tanggung tanggung, sebagaimana syari’at Islam mengatur, Sultan Iskandar Muda, yang menerima hasil penyelidikan dan pemeriksaan kasus tersebut menjatuhkan hukum rajam (bunuh), meskipun terhadap puteranya sendiri. Hukuman itu dilakukan depan umum.
Berapa waktu setelah hukuman rajam itu dilaksanakan, Sultan Iskandar Muda dikabarkan jatuh sakit. Semakin hari kondisinya semakin memburuk. Dalam kondisi itu para pembantu khawatir jika sakit beliau karena menanggung sesal atas hukuman tersebut. Mereka memberanikan diri menanyakan, mengapa hukuman rajam itu mesti dijatuhkan pada putera mahkota.
Dengan jiwa yang bertanggungjawab dan jauh dari rasa penyesalan, beliau menjawab :
“Mate aneuk na jirat, mate adat ho tamita”, yang artinya :
Mati anak ada makamnya, tetapi kalau mati hukum ke mana akan dicari ?
Itulah salah satu contoh keadilan Islam oleh dari Iskandar Muda, pemimpin muslim dari tanah rencong. Iskandar Muda menunjukkan bahwa pernah berlaku suatu hukum yang tidak hanya tajam ke bawah, siapaun yang melanggar, termasuk anggota kerajaan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatan.
Memang, sejak periode Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1507-1874), dan demikian juga periode kesultanan di bawah penetrasi Hindia Belanda (1874-1942) hingga masa kemerdekaan, syariat Islam di Aceh selalu menjadi acuan masyarakat dalam menata kehidupannya baik secara individu, keluarga dan bermasyarakat. Namun, pada Kesultanan Aceh terutama Iskandar Muda syariat Islam benar-benar ditegakkan.
Dalam Kitab Bustan al-Salatin, Iskandar Muda digambarkan sebagai seorang yang berusaha menegakkan kehidupan beragama, memberantas minum (minuman keras) dan judi, menjalankan peraturan (hukum) agama, bersama-sama rakyak shalat jum’at di masjid, dan memberi sedekah kepada fakir miskin.
Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan pengharaman riba. Menurut Alfian, deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Selain itu Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas.
Di kesultanan Aceh Darusalam syariat Islam berada dibawah payung hukum yang kuat yang disebut dengan Qanun Meukuta Alam. Qanun Meukuta Alam merupakan Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam. Qanun Meukuta Alam ini yang berisi tentang undang-undang dan peraturan kerajaan Aceh. Qanun al-Asyi tersebut juga mengakomodir empat mazhab. Hal ini tampak dalam salah satu bab qanun Meukuta Alam syarahan Teungku di Meulek, yang berbunyi demikian:
Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati qanun Meukuta Alam al-Asyi, dari karena mengikut Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali. Dan empat mazhab itu semua tunduk kepada syariat Rasululllah saw, diyakini berhimpun iman, Islam, Tauhid dan ma’rifat, maka barulah bernama agama.
Isi Qanun tersebut dengan jelas menggambarkan adanya pengaruh ulama. Tidak heran jika syariat Islam di Aceh Darusalam tegak dilaksanakan. Syari’at Islam diberlakukan bukan semata mata kepada rakyat, bahkan jika pelanggaran dilakukan oleh anggota keluarga kerajaan, hukum islam tetap diberlakukan.
Akankah kita kembali memiliki jiwa-jiwa pemimpin laksana Iskandar Muda?
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza