(IslamToday.id) — Duka mendalam masih menyelimuti rakyat Aceh dan keluarga kerajaan, terutama Puteri Safiatuddin. Setelah kepergian ayahnya, yakni Sultan Iskandar Muda, ia kembali harus kehilangan suaminya tercinta, Sultan Iskandar Sani.
Kepergian Sultan Iskandar Sani tanpa meninggalkan putera mahkota membuat Aceh kondisi krisis kepemimpinan. Ditengah krisis ini, Syekh Nuruddin Ar Raniry yang saat itu menjabat sebagai Adli Malikul Adil mengumpulkan seluruh pembesar negara dan para ulama. Ia menghelat musyawarah untuk menentukan sosok yang tepat untuk memikul tampuk kepemimpinan Aceh Darusalam.
Perdebatan sengit mewarnai musyawarah itu. Namun akhirnya, lahir kesepakatan bahwa satu satunya yang memiliki kecakapan untuk memikul amanah adalah Puteri Safiatudin.
Puteri Safiatudin dipilih bukan semata-mata karena Permaisuri Sultan Iskandar Tsani dan juga anak dari Sultan Iskandar Muda. Ia dianggap memenuhi syarat, sebab memiliki pengetahuan agama yang baik, ahli ketatanegaraan, dan cinta ilmu pengetahuan. Dalam musyawarah tersebut para ulama terlebih dahulu menetapkan hukum, memperbolehkan wanita menjadi raja, asal memenuhi syarat keagamaan, akhlak dan ilmu pengetahuan.
Pengetahuan Safiatuddin dipupuk sejak kecil. Sejak usia 7 tahun ia telah belajar bersama putera puteri istana lainnya kepada ulama ulama besar, seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar Raniry, Syekh Alaiddin ahmad, Syekh Mudyiddin Ali, Syekh Taqiuddin Hasan, Syekh Saifudin Abdulkahar, Syekh Kamaluddin, juga Seri Faqih Zainul abiding Ibnu Daim Mansur, semuanya adalah guru besar Jami’ Baiturrahmah (Universitas Baiturrahmah).
“Setelah muda remaja, Safiatuddin telah menguasai dengan baik bahasa-bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu, di samping telah alim dengan ilmu-ilmu fiqh (hukum Islam) dengan segala cabang-cabangnya termasuk fihud-dauli (hukum-tatanegara), seja-rah. manthik, falsafah, tasauwuf, sastera dan lain-lain” tutur Ali Hasjmy dalam bukunya 59 tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Putri Safiatuddin dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat. Lantaran, bukan berangkat dari latar belakang militer, kekuasan politik dan pertahanan keamanan Aceh Darussalam cenderung menurun. Namun demikian perkembangan ilmu pengetahuan meningkat dengan pesat. Jami Biturrahman (Universitas Baiturrahman) di Banda Aceh saat itu bertambah maju. Dayah-dayah (Pesantren-pesantren) juga berdiri dan berkembang pesat di daerah daerah kekuasaan Aceh, bahkan meluas hingga ke daerah Ulakan Sumatera Barat, Yan Kedah, Siak Seri Indrapura dan lain lain.
Selain itu, Tajul alam juga mendorong para ulama untuk menulis karya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Diantaranya Kitab Hidayatul Iman Bi Fadlil Manan, Karangan Syekh Nuruddin Ar Raniry. Selain kitab tersebut, ia juga menulis 27 karya lainnya. Selain, Kitab Hidayatul Iman, Kitab Miratuth Thulah fi Tashili Makrifatil Ahkam karya Syekh Abdurrauf Fansury As singkily juga atas dorongan Tajul Alam.
Selain itu, Syekh Abdurrauf Fansury juga diminta untuk melakukan penerjemahan tafsir al Qur’an Anwarut Tanzil wa Asrarut Takil ke dalam bahasa melayu/jawi. Ini adalah karya tafsir pertama dalam bahasa Melayu.
Adalagi satu karya yang lahir berkat dorongan Tajul Alam, yakni Risalah Masailal Muhtadi li ikhwani Mubtadi. Karya ini dipersembahkan yang diperuntukan bagi orang orang yang baru masuk Islam. Sebuah kitab pelajaran agama islam yang isinya lengkap namun disuguhkan secara ringkas. Kitab ini ditulis oleh Teungku Chik Dileupeu Baba Daud.
Selama 34 tahun memimpin Aceh, Tajul alam bukan seorang yang bertangan besi. Ia mengedepankan sikap bijaksana dalam menangani persoalan, termasuk dalam menangani sekitar 300 ulama, yang tidak menyetujui kebijakan dan langkah-langkah politiknya.
Alih alih bertindak represif, ia justru-justru membiarkan dibiarkan mereka menyebar ke seluruh wilayah kerajaan untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan (dayah-dayah). Ia faham bahwa ulama sangat berperan besar bagi perkembangan dakwah dan ilmu pengetahuan.
Diantaranya, Syekh Abdul Wahab yang hijrah ke Tiro dan mendirikan Dayah di sana. Hingga di kemudian hari Dayah yang didirikannya menjadi salah satu pusat pendidikan yang terkenal dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan Syekh Abdul Wahab, menjadi datunya dari Ulama-Ulama Tiro.
Di tangan Tajul Alam, Aceh Mungkin tidak sekuat sultan-sultan sebelumnya. Namun, 34 tahun bukan waktu yang singkat untuk memimpin negeri, bahkan membawa Aceh menjadi negeri yang kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Tidak heran jika M. Said dalam karyanya Aceh Sepanjang Abad jilid 1 memujinya:
“Masa 34 tahun itu adalah masa yang terlalu jauh yang tidak akan dapat dilampaui de-ngan selamat tanpa kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimiliki dalam kepribadian tokoh wanita Tajul Alam Safiatuddin. Dalam segi ini, Aceh bisa membanggakan sejarahnya puia, karena telah mempunyai tokoh wanita Tajul Alam ini yang mungkin tidak dimiliki dalam lembaran sejarah nasional lainnya”.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza