IslamToday ID — Masjid dalam lintasan sejarah peradaban Islam memiliki peranan yang sangat signifikan. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, transfer ilmu pengetahuan hingga pusat administrasi pemerintahan, masjid juga merupakan simbol dari adanya eksistensi dakwah yang telah bermetamorfosis menjadi objek fisik.
Oleh karena itu, pada setiap kemunculan sebuah pemerintahan Islam di suatu wilayah, maka masjid menjadi komponen utama dari segala aktivitas spiritual yang mempertemukan seorang Sultan dengan rakyatnya. Salah satu masjid yang hingga saat ini masih memilii eksistensi sebagai sebuah pusat aktivitas peradaban di wilayah Timur Indonesia adalah Masjid Kesultanan Ternate.
Sedikit menengok kebelakang, Pulau Ternate dahulu dikenal dengan sebutan Pulau Gapi. Kota ini mulai ramai pada awal abad ke-13 M. Penduduk Ternate awal adalah merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Pada awalnya Ternate terdapat empat desa yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama-tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru untuk mencari komuditas rempah-rempah. Dengan banyaknya aktiitas perdagangan disana, maka penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa.
Sebab aktivitas perdagangan semakin ramai ditambah ancaman yang datang dari para perompak, maka atas prakarsa momole pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hingga pada tahun 1257 M, momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Masyhur Malamo (1257- 1272 M).
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gama-lama). Semakin besar dan populernya kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan Kerajaan Ternate dari pada Kerajaan Gapi.
Dibawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya di wilayah sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian Timur Indonesia khususnya kawasan Kepulauan Maluku Utara. Dari sinilah warga masyarakat Ternate banyak yang mengenal dan mulai menganut Islam. Bahkan, di tahun-tahun berikutnya Islam sudah dianut oleh mayoritas bangsawan Ternate.
Mulai pertengahan abad ke-15 M, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Adapun perubahan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Zainal Abidin. Beliau adalah seorang sultan yang memiliki perhatian yang besar terhadap ajaran Islam. Untuk memperdalam ajaran Islam, pada tahun 1495 M, Sultan Zainal Abidin meninggalkan istananya dan pergi berguru pada Sunan Giri di Jawa.
Setelah diangkat menjadi Raja Ternate, nama gelar kolano diganti menjadi Sultan. Sultan Zainal Abidin tidak hanya melakukan perubahan dalam masalah gelar, tetapi juga melakukan beberapa perubahan yang mendasar, yaitu: menjadikan Islam sebagai agama resmi dan melembaga dalam kerajaan dan membentuk lembaga baru yang disebut bobato (pejabat yeng mengurusi masalah-masalah keagamaan).
Sejarah Masjid Kesultanan Ternate
Adapun waktu kapan berdirinya Masjid Kesultanan Ternate belum bisa diketahui secara pasti. Dari informasi Kementerian Agama Kabupaten Ternate, diperkirakan pendirian Masjid ini telah dilakukan sejak pemerintahan Ternate berganti menjadi pemerintahan Islam dibawah Sultan Zainal Abidin, tetapi tentu saja bangunannya tidaklah seperti sekarang.
Pada masa itu, belum dibangun Kedaton Kesultanan sebagai istana raja. Sumber lain mengatakan bahwa Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Saidi Barakati pada tahun 1606 M. Namun, sumber yang lebih pasti ditulis oleh Masmedia Pinem Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, bahwa Kedaton Kesultanan Ternate dibangun pertama kali pada tahun 1673 M dan Masjid Kesultanan Ternate (Sigi Lamo) pada tahun 1679 M.
Berbeda dengan daerah lain, masyarakat Trernate menyebut istilah Masjid Kesultanan ini dengan Sigi Lamo. Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Sigi Lamo dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate.
Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini. Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan.
Persamaan konstruksi yang lain adalah adanya tiang penyangga masjid yang disebut dengan saka guru, penyangga atapnya yang piramidal dengan kemiringan tajam seperti pada konstruksi tajug. Persamaan lainnya adalah meskipun konstruksinya berbeda, bila dibandingkan dengan berbagai masjid di nusantara adalah adanya serambi, melebar selebar unit ruang utama shalat.
Dari segi bahan, dahulu atap ini menggunakan rumbia atau daun sagu, berbeda dengan konstruksi Jawa yang sudah lama menggunakan genting atau atap kayu yang dinamaan sirap. Namun, sejak tahun 1982, pemerintah pusat telah melakukan renovasi dengan mengganti atap Sigi Lamo ini dengan bahan galvanis yang lebih tahan lama. Di halaman depan tepat pada sumbu garis mihrab, terdapat unit bertingkat, di bawah berupa kolong, atas untuk teras berfungsi sebagai tempat azan dan meletakkan bedug. Denah unit yang dapat memperkuat arah kiblat adalah bujur sangkar, atapnya identik dengan atap unit ruang shalat utama yang hanya dua lapis. Di sisi selatan-timur masjid terdapat sumur tua, sejak dahulu menyatu dengan masjid untuk fungsi wudhu.
Masjid ini terkenal unik karena memiliki aturan-aturan adat yang tegas, seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat Ternate, terutama di lingkungan kedaton.
Menurut keterangan Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu, masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid).
Di masjid Sultan telah diatur orang-orang yang bertugas mengurusi seluruh keperluan masjid selama sebulan dengan perwakilan masing-masing kampung yang ada di sekitar Sigi Lamo. Struktur organisasi kepengurusan Masjid Sultan diatur berdasarkan bobata akhirat yang mewakili dari masing-masing etnis atau daerah yang ada di Ternate.
Bobato akhirat tersebut terdiri dari Imam Jiko, Imam Jawa, Imam Sangaji, dan Imam Moti. Keempat imam inilah secara ber-gantian setiap pekannya bertugas dalam mengatur peribadatan di Masjid Sultan. Pekan pertama yang bertugas adalah Imam Jiko; Pekan kedua Imam Jawa; Pekan ketiga Imam Sangaji; dan Pekan keempat Imam Moti. Masing-masing imam tersebut bertugas mulai dari muazin, khatib, dan membersihkan masjid secara bergiliran setiap pekannya.
Selain kewajiban dan larangan yang baku, ada keunikan lain yang bisa kita temukan dalam kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan penyelenggaraan beribadatan sholat. Sebagai contoh: ketika datang waktu shalat wajib, khususnya zuhur dan asar, seorang yang mengumandangkan adzan dilakukan tanpa pengeras suara. Hal ini dilaksanakan karena tradisi yang sudah turun-temurun. Alasan lain dikemukakan adalah karena pada zaman penjajahan apabila adzan dengan pengeras suara, maka akan mudah diketahui oleh musuh.
Masih berkaitan dengan adzan. Di Sigi Lamo, dalam pelaksanaan sholat jumat, sebelum khatib naik mimbar akan terlihat adzan dikumandangkan oleh empat orang. Hal ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan istilah adzan empat. Keempat muazin ini bukanlah orang yang ditunjuk sembarangan, namun mereka adalah perwakilan dari masing-masing wilayah, yaitu Jiko, Jawa, Sangaji, dan Moti.
Adapun filosofi dari adzan empat ini adalah:
Pertama, menggambarkan tentang adanya empat Khulafaurrasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Disini menyiratkan bahwa masyarakat Islam di Ternate adalah penganut Sunni dan bukan Syiah yang tidaklah mungkin bagi mereka mengakui keberadaan tiga khalifah Rasulullah.
Kedua: Maluku Utara dikenal dengan empat wilayah kesultanan, yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan);
Ketiga: Dalam Islam dikenal dengan adanya empat mazhab, yaitu Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hanbali;
Keempat: Khusus kesultanan Ternate dijelaskan bahwa azan empat juga menggambarkan empat sumber kehidupan manusia, yaitu air, angin, api dan tanah.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Alwi. 2005. Sejarah Maluku Banda naira, Ternate, Tidore dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.
Profetika, Sigi Lamo Dan Tinggalan Sejarah Islam Di Ternate Sigi Lamo Dan Tinggalan Sejarah Islam Di Ternate Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 2, Desember
- Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950